Oleh : Cut Yuli Tsabita Chairunnisa
Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry.
GEMARNEWS.COM, OPINI - Keberhasilan negara dalam mewujudkan cita-cita nasional merupakan tanggung jawab seluruh warga negara baik itu pemerintah, lembaga negara bahkan masyarakat itu sendiri. Pergerakan yang cukup memberikan andil dalam transformasi bangsa Indonesia menjadi lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Dengan keruntuhan ini tiba saatnya masyarakat dapat merebut kembali nilai-nilai Pancasila sebagai negara demokrasi. Reformasi Indonesia pada saat itu memperlemah sistem otoritarian dimana semua urusan pemerintahan terpusat di kedua daerah, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan keputusan pusat.
Namun, sejak awal reformasi, sistem administrasi telah berubah: sebelum terpusat, sekarang menjadi desentralisasi, di mana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada kotamadya untuk mengelola urusan anggaran mereka. Hal ini memunculkan istilah otonomi daerah dan otonomi khusus. Namun dalam artikel ini saya akan lebih fokus membahas otonomi khusus, tidak semua daerah mendapatkan otonomi khusus ini. Dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satu daerah yang menerimanya adalah Provinsi Papua. Dimana kebijakan tersebut tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang kewenangan Papua untuk melaksanakan otonomi khusus.
Namun tidak selamanya berjalan mulus dalam setiap sistem kehidupan bernegara, ada kalanya dalam setiap perjalanan politik menimbulkan permasalahan baik bagi pemerintah maupun bagi warga negara itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan ketertiban umum, yang artinya merupakan alat yang digunakan pemerintah untuk memecahkan masalah publik secara teknokratis. Pada dasarnya, kebijakan publik juga merupakan produk politik yang pembuatannya memakan waktu cukup lama, rumit dan seringkali melibatkan konflik yang melibatkan aktor yang berbeda dengan kepentingannya masing-masing. Dinamika seperti inilah yang sering menempatkan pembuat kebijakan dalam kebingungan. Belum lagi berbagai dinamika sosial lainnya di masyarakat.
Jika kita melihat teori politik, di mana politik benar-benar menjadi sebuah kerajaan yang berbau kekuasaan, saling mempengaruhi dan menekan partai, Carl Friendrich juga mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan satu orang, kelompok atau tujuan yang diusulkan. memimpin suatu pemerintahan. dalam lingkungan tertentu mengenai adanya hambatan tertentu dalam mencari cara untuk mencapai tujuan tertentu (Carl J. Friendrich, 1963). Untuk memaparkan berbagai argumentasi di bawah ini, saya akan menjelaskannya dengan contoh kebijakan otonomi khusus Papua untuk menguatkan teori-teori tersebut.
Papua sendiri merupakan wilayah di bagian paling timur dari Wilayah Papua yang merupakan bagian dari Indonesia. Mengingat wilayah tersebut memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah seperti cadangan emas yang melimpah, sudah selayaknya Papua menjadi wilayah yang makmur dan sejahtera. Namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan karena meskipun mereka memiliki kekayaan yang cukup besar, hal ini tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan banyak juga masyarakat Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan. Itu sebabnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001 berlaku, dengan undang-undang ini berlaku sejak tahun 2001.
Tujuannya agar pemerintah pusat membantu masyarakat Papua untuk mengurangi perbedaan antara wilayah Papua dengan provinsi lain. Dengan kebijakan otonomi khusus tersebut, provinsi Papua memperoleh kekuasaan di beberapa daerah yang diatur dengan undang-undang otonomi khusus. Tahun 2021 merupakan periode terakhir pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, sehingga perlu dilakukan pembahasan selanjutnya yang meliputi pembahasan bagaimana pelaksanaannya saat ini dan bagaimana keberlanjutannya untuk periode selanjutnya.
UU Pemerintahan Mandiri telah menjadi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua dan memungkinkan masyarakat Papua di Sali untuk berhubungan dengan nilai-nilai inti, yang meliputi perlindungan dan penghormatan terhadap etika dan hak-hak moral masyarakat adat.
Rakyat, hak asasi manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, dan persamaan hak dan status, hak dan tanggung jawab sebagai warga negara. Namun pada kenyataannya, sejak awal hingga akhir pelaksanaan otonomi khusus Papua, banyak pihak dari berbagai kalangan menilai bahwa otonomi khusus Papua pada dasarnya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan. Anggota suku bangsa Papua. .
Kebijakan khusus pemerintah (tindakan positif) untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk Papua belum dilaksanakan. Kegagalan otsus pada Bab 1 bukan hanya karena tindakan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah provinsi dan pemerintah kota merupakan kontributor penting kegagalan dalam hal tersebut.
Oleh karena itu, sebagai suatu kebijakan pengelolaan pembangunan daerah, harus dijadikan pelajaran pada berbagai lapisan masyarakat sejak awal proses pelaksanaan Otonomi Khusus Jilid 1, agar Otonomi Khusus Jilid II dapat berjalan jauh lebih baik dari sebelumnya.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah pusat untuk mewujudkan dampak positif Otonomi Khusus Jilid II? Sudah selayaknya pemerintah mendengarkan argumentasi para pemimpin daerah dan akademisi tentang kelemahan, kekurangan dan kegagalan pelaksanaan otonomi khusus. , ketua kelompok, masyarakat adat dan juga masyarakat adat Papua. Dalam hal ini, pemerintah pusat juga memerlukan berbagai dokumen yang perlu diperhatikan oleh negara, pemerintah daerah, DPR, DPRD, MRP dan juga masyarakat adat agar hasil pembangunan dapat optimal.
Tentunya dengan setiap kebijakan publik yang diterapkan oleh suatu pemerintah, akan terdapat permasalahan atau dinamika dalam implementasinya. Belum lagi kebijakan otonomi khusus Papua Bagian II yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan di tengah masyarakat Papua, di mana letak pemicunya.
1. Ketidakjelasan materi komunikasi politik
Fokus utama kajian UU Khusus tentang Pemerintahan Sendiri adalah pasal-pasal tentang pembiayaan yang berlaku selama 20 tahun pada tahun 2001-2021. Intinya, komunikasi politik yang berkembang membentuk opini publik seolah-olah UU Otonomi Khusus direvisi secara keseluruhan.
2. peringkat ke-2 Evaluasi
Sebagai salah satu fungsi manajemen program. Penilaian berdasarkan hal ini diperlukan untuk melihat seberapa besar kontribusi atau kiprah pemerintahan sendiri ini di Papua. Biasanya evaluasi ini dilakukan setiap tiga tahun sekali, agar pemerintah pusat paham bagaimana pelaksanaannya di tahun berjalan. Namun dalam penilaian ini, terdapat dua pandangan yang diterima dari pemerintah pusat MRP dan DPRP, kedua pandangan tersebut saling bertentangan. Jika satu sudut pandang mengatakan bahwa otonomi khusus berhasil dan karenanya harus dilanjutkan, dan yang lain mengatakan bahwa pelaksanaan otonomi khusus gagal dan tidak boleh dilanjutkan, kedua sudut pandang tersebut dikomunikasikan hanya dari sudut pandang subjektif. tanpa data objektif.
3. Studi akademik
Bagian dari proses persiapan dan pengesahan legislasi di tingkat daerah dan pusat. Pembuatan produk hukum ini secara resmi masuk dalam program legislasi dan karenanya masuk ke tahap kajian akademik. Namun masalahnya, terkait dengan UU Otsus Bagian II, tidak jelas siapa yang harus melakukan sosialisasi. , jika penelitian ilmiah dilakukan yang belum selesai. Akibatnya, terjadi kebingungan di masyarakat terkait informasi tersebut.
4. Jalan tengah
Hal ini diperlukan untuk mencapai kebijakan atau keberhasilan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, baik pro maupun kontra. Hal itu bisa dicapai dengan dibentuknya kelompok debat independen yang melibatkan kelompok pendukung referendum, kelompok pendukung pemerintah dari pusat hingga daerah. Membahas agenda revisi UU Otonomi Khusus dan menggali persepsi kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. (Suara Papua, 2020)
Selain itu, persoalan lain yang mempengaruhi keberlangsungan Otonomi Khusus Jilid II antara lain adalah dinamika politik lokal, kurangnya rasa saling percaya, perbedaan interpretasi dalam pelaksanaan Otonomi Khusus, lemahnya birokrasi kepegawaian, dan minimnya dukungan peraturan pemerintah yang baru untuk pemilihan presiden.
Kebijakan publik harus melayani kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan kelompok. Masyarakat berhak menyampaikan kritiknya kepada pemerintah melalui jalur diplomasi, seperti yang dilakukan oleh komunitas Dogiyai di Papua, dimana mereka menggelar aksi protes yang terorganisasi dengan ketat menolak Otsus Jilid II, karena mereka paham bahwa Otsus Jilid II masih membuat masyarakat semakin sengsara dan masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Komunitas Dogiyai pada prinsipnya menolak berlanjutnya otonomi khusus dan menuntut referendum sebagai sarana demokrasi. Hal ini ada alasannya, karena dalam perjalanan pembangunan Otsu Part 1 Papua baru tidak jauh dari kata sejahtera. Oleh karena itu, komunitas Dogiyai mengajukan petisi berupa petisi
1. Kami menolak dengan tegas segala kondisi, kebijakan dan bentuk seperti Otonomi Khusus Bagian II, Otonomi Khusus Plus, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, dll, yang memperlama pelaksanaan Otonomi Khusus di wilayah Papua.
2. Kami mengecam dan menolak dengan sekeras-kerasnya segala cara agenda dan bentuk kompromi sepihak dalam pembahasan dan keputusan yang berbicara atas nama rakyat Papua sebagai tujuan dari segala permasalahan Papua, khususnya terkait dengan perpanjangan otonomi khusus Papua.
3. Segera berikan ruang dan waktu kepada rakyat Papua untuk menentukan dan menentukan nasibnya sendiri, untuk mengadili apakah rakyat Papua akan memilih NKRI, otonomi khusus atau merdeka sebagai negara.
4. Kami mendukung suara 1,8 juta orang Papua yang menandatangani petisi pada tahun 2017 yang meminta pengawasan kedaulatan internasional.
5. Apabila pasal 1, 2, 3 Deklarasi Rakyat Indonesia tidak ditanggapi dengan serius, maka rakyat Papua siap melakukan mogok sipil nasional secara damai, bermartabat dan terhormat.
Dalam petisi masyarakat Papua yang menyatakan akan menentang pemulihan otonomi khusus bagi masyarakat Papua Part II, karena keberadaan otonomi khusus tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Papua secara umum.
Papua pada umumnya. Namun, situasinya berbeda dengan sekelompok orang yang berjuang untuk menerapkan kebijakan otonomi khusus ini. Berharap Kebijakan Otonomi Khusus Jilid II dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan meninjau regulasi yang ada dan belajar dari kegagalan Kebijakan Otonomi Khusus I.
Dengan anggaran yang cukup besar dimasukkan dalam Nota APBN. Tahun 2015 Otsus Papua Rp 4,9 triliun, Tahun 2020 Anggaran Otsus Papua kembali dinaikkan Rp 5,9 triliun. Jadi kalau kita mulai dari awal, kebijakan otsus dicanangkan pada tahun 2001 dan berlaku selama 19 tahun, sejauh ini pemerintah pusat sudah mengeluarkan Rp 100 juta. Lebih dari 94 triliun kepada pemerintah daerah Papua untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Kelompok yang setuju mengembalikan kebijakan otsus adalah pejabat birokrasi dan pejabat politik yang merupakan orang asli Papua. Patut dipertanyakan mengapa malah ada pendukung kebijakan otsus Bagian II di antara para pejabat tersebut, sementara penduduk Papua banyak yang menolaknya. Ini tentu saja menjadi tanda tanya besar di kepala kita! Jawabannya tentu ada pada mereka yang bisa merasakan dampak besar dari dana otsus, karena mereka yang mengetahui anggaran sebesar itu akan dibimbing kemana-mana selama proses pelaksanaannya.
Sementara masyarakat hanya dijadikan penonton, tanpa bisa merasakan dampak yang begitu besar bagi kehidupan orang Papua. Jika memang demikian kenyataannya di lapangan, maka teori yang saya uraikan di atas benar, bahwa kebijakan publik merupakan produk politik yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan kepentingan dan kekuasaan tertentu. Pada saat yang sama, orang tanpa kepentingan hanya digunakan sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan politik. (Friendrich, 1963)
Pada prinsipnya rakyat Papua memiliki hak mutlak untuk menentukan nasib perpanjangan otonomi khusus Papua, bukan pejabat birokrasi atau politik, karena otonomi khusus diberikan untuk melayani rakyat. Akhirnya, berbagai dinamika politik yang muncul di Papua hanyalah sebagian kecil dari permasalahan implementasi inisiatif kebijakan yang tidak efektif.
Masih banyak kasus di daerah lain yang serupa, bahkan mungkin lebih meresahkan. Di sini sudah sepantasnya pemerintah pusat lebih fokus pada keluhan masyarakat dan mempertimbangkan kontribusi dan kritik dari semua pihak. Karena yang memutar roda kehidupan di negara adalah rakyat, bukan penyelenggara negara, yang hanya orang-orang yang ditugaskan oleh rakyat untuk mengurus kebutuhan rakyat.