Gemarnews.com, Banda Aceh - Pemusnahan Rumoh Gedong dan kaitannya dengan Pembukaan Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat secara Non-Judisial”
Banda Aceh, 23 Juni 2023
Secara prinsip, Instruksi Presiden yang berdasarkan hasil kerja “Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPPHAM), Instruksi Presiden (Inpres, No 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Judisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu, berpotensi memberika impunitas kepada pihak manapun (dari kedua belah pihak) pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, baik yang terjadi di Aceh maupun di tempat lain di Indonesia.
Kenyataan bahwa proses pengungkapan kebenaran yang telah mulai dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh secara dapat dipertanggungjawabkan sudah dengan jelas mengungkapkan bahwa ADA peristiwa pelanggaran HAM di Aceh dan ADA Korbannya.
Sedangkan pengungkapan kebenaran secara khusus tentang siapa saja pelaku pelanggaran HAM tersebut dari kedua belah pihak, secara khusus belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ini merupakan bagian penting yang harus terpenuhi dalam rangka memberi keadilan kepada korban, termasuk yang melalui pendekatan non-judisial.
Sejauh ini, masih ada secercah harapan dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah telah dan akan terus melakukan berbagai upaya untuk tujuan merawat damai, khususnya Aceh yang antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia telah sama-sama menandatangani perjanjian Helsinky pada tanggal 15 Agustus 2005.
Namun, pengejawantahan Kepres tersebut di atas dengan kegiatan “Pembukaan Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM berat secara Non-Judisial” yang dahului dengan “Pemusnahan Rumoh Geudong” memunculkan banyak pertanyaan dan semakin mengecilkan harapan dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah punya niat dan cara yang baik untuk merealisasikan pendekatan pemenuhan keadilan, khususnya secara Non-Judisial.
Di sisi lain, pernyataan PJ Bupati Pidie Bapak IR Wahyudi, sebagai pemerintah daerah di mana Rumoh Geudong berdiri, semakin memicu kekecewaan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, BSUIA menyatakan sikap
1. Menguatkan peryataan sikap YLBHI- LBH B. Aceh.
2. Pendekatan Penyelesaian Pelanggaran HAM secara Non-Judisial tidak menegasi penyelesaian secara penuntutan-Proses Hukum (Pro – Justicia), termasuk dengan mempertimbangkan hasil kerja KOMNAS HAM terkait kasus-kasus pelanggaran di Aceh (bukan hanya Rumoh Geudong).
3. Memorialisasi Rumoh Geudong merupakan bagian tak terpisahkan dari rekomendasi reparasi yang secara langsung muncul dari para korban yang telah diambil pernyataannya oleh KKR Aceh yang tentu tidak bisa diabaikan dan pemerintah wajib memeuhinya sebagai bagian dari Upaya penyelesaian pelanggaran HAM secara Non-Judisial. Pembangunan memorialisasi itu sendiri harus menyisakan sebanyak mungkin ciri-ciri asli dari tempat kejadian perkara pelanggaran HAM tersebut. Untuk menghormati korban, baik yang telah gugur maupun yang masih hidup dari peristiwa Rumoh Geudong sehingga bisa menjadi situs memorialisasi yang merupakan bagian dari bentuk reparasi untuk merawat perdamaian dan bentuk pemulihan terhadap korban.
4. Sehubungan dengan point No. 3, kami menolak keras pemusnahan total Rumoh Geudong.
5. Keberatan terhadap pernyataan PJ Bupati Pidie, Bapak Wahyudi Adisiswanto yang menyebutkan bahwa membangun museum dan replika Rumoh Geudong itu sama saja mewarisi dendam karena pemusnahannya juga tidak menjamin menghilangkan dendam atau bahkan akan menghilangkan trauma secara serta merta. Pernyataan dari PJ Bupati Pidie terkesan mengabaikan berbagai bentuk upaya merawat damai yang dilakukan oleh semua pihak, termasuk pemerintah. Selain itu, pernyataan demikian kontra produktif dengan berbagai Upaya pemulihan korban, bahkan semakin melukai korban konflik yang mengalami berbagai kekerasan di Romoh Geudong khususnya, maupun korban konflik bersenjata Aceh umumnya.
6. Memorialisasi Rumoh Geudong dalam bentuk replikanya dan atau Museum menjadi salah satu jejak sejarah sekaligus menjadi upaya mencegah terjadinya keberulangan selain melalui reformasi institusi dan seterusnya diharapkan menjadi ditetapkan sebagai situs sejarah.
7. Keberatan atas kalimat yang terkesan mempertentangkan antara korban yang merasa penting memorialisasi sebagai bentuk pemulihan - reparasi dan korban yang setuju tidak ada memorialisasi karena semua mereka adalah korban dengan keunikannya masing-masing sebagai manusia.
8. Keberatana denga apapun pernyataan-pernyataan pemerintah yang kontra produktif untuk tujuan pemenuhan rasa keadilan terhadap korban karena pernyataan pemerintah itu adalah bagian dari kebijakan yang harus dipikirkan dampaknya.
9. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara Non-Judisial salah satunya dengan memorialisasi tidak cukup dilakukan hanya sebatas ceremonial tetapi harus menjawab kewajiban pemerintah (fungsi to full fill)dalam pemenuhan hak-hak korban.