Notification

×

Iklan ok

Rahasia Senja

Senin, 02 Oktober 2023 | 15.43 WIB Last Updated 2023-10-02T08:43:35Z

Oleh : Lidia Nurliana

Mahasiswi Uniki Bireuen

Kau selalu senang menatap senja berlama-lama. Dan pernah suatu kau berbisik jika kau tahu rahasia senja. Tantang sesuatu yang berada di balik senja.

Hari ini aku pulang dan seperti biasa datang ke sudut lading yang sering kita datangi untuk menatap senja. Kali ini aku sendiri. Sebenarnya sudah bertahun-tahun aku selalu pulang dan menatap senja sendiri. Tetap tak aku dengar senja berbisik tentang rahasianya. Mungkin karena aku tidak benar-benar mendengar karena saat petang mulai mengikis senja aku terburu-buru pulang ke rumah.

Sedang engkau dulu tetap duduk dan tak terpengaruh dengan gelap yang membuat penglihatan kita perlahan merabun. Kau tetap duduk sampai akhirnya Biyung memanggilmu untuk pulang mandi dan belajar. Dulu kita sering melihat senja sebelum mandi tapi sekarang aku menatap senja dengan wajah segar dan wangi. Seiring bertambahnya usia kadang kita menyadari kekonyolan masa kecil. 

Lima tahun lalu kau datang ke kota tempat aku bekerja. Setelah hamper sebelas tahun tak bertemu, jujur aku lupa, tapi setelah bercerita tentang senja aku langsung yakin itu kau. Namun, saat itu senja hanya sengaja kau sebut buat membunyikan alarm ingatanku. Setelah itu kau enggan bercerita tentang senja dan kukira karena sore itu kita jalan di taman dan senja malu-malu mengintip di celah dedaunan atau di sudut gedung-gedung yang berjajar tinggi.

Lantas kau  mengajakku masuk ke mobilmu yang membawa kita ke gerai kopi merek impor. Aroma kopi yang bercampur susu menggerayangi hidung di sela obrolan kita. Cerita perjalanan hidupmu selama 6 tahun kau rangkum singkat hamper tiga jam.

Semua ceritamu itu sebelumnya tak pernah aku duga. Dulu aku sempat berfikir kau pergi ke luar kota atau tepatnya di kota ini dan hidup seperti anak pada umumnya. Ya, aku terdampar di kota ini karena imajinasi yang kuciptakan tentang kau.

“Kau menceritakan ayah dan ibumu hanya sekilas “Kita harus bisa melupakan kenangan. Terlalu berat untuk dibawa-bawa terus. Kita harus mampu membebaskan langkah kita tanpa harus menoleh ke belakang.”

“Seperti senja,” ucapku santai tetapi ternyata membuat wajahmu seketika pucat. “Bukankah kita harus terus berjalan untuk tahu ada apa sebenarnya di balik senja,” lanjutku lirih mengingatkan kata-katamu dulu ketika usia kita masih 13 tahun.

Namun, kau hanya diam dan matamu tiba-tiba sendu. Lantas kau mengalihkan pembicaraan tentang secangkir kopi, kunang-kunang, dan kota-kota tua yang sering kau datangi. Aku memilih diam menyimak.

“Kau ingat tentang senja?” Tiba-tiba Tanya itu meluncur dari mulutku. “Tiap pulang aku masih sering datang melihat senja. Tapi aku masih belum mengerti rahasia senja. Ada apa di balik senja.”

Kau hanya diam dan aku merasa tak enak, seolah menggali kenangan yang sengaja kau kubur “Kau belum pernah pulang?” Ucapku lebih ke pernyataan daripada pertanyaan.

Tiba-tiba raut wajahmu berubah seperti menahan rasa kehilangan. Menghadap meja bundar dengan sekuntum bunga anggrek di atasnya yang membuatmu lebih menarik disbanding secangkir kopi yang kini telah dingin dan aromanya mulai pudar.

“Kau sering pulang?”

“Ya, tiap lebaran. Lima sampai seminggu di rumah biasanya, “jawabku. “Kau lebih dari sebelas tahun ngga lihat rumah Biyung? Sibuk banget sampai tak ada waktu.” Susah sekali tidak bernada sinis.

Kau hanya diam. Tentu aku masih ingat kau terpaksa ikut orang tuamu dan meninggalkan Biyung. Petenmpuan tua ringkih yang mungkin tak berjasa melahirkanmu tetapi sangat berjasa membesarkan sejak usiamu tiga tahun hingga tiga belas tahun. Bahkan saat Biyung tiga tahun kemudian wafat, kau tak ikut ibumu pulang.

Engkau telah membawa aku pada krinduan senja yang luka setelah langit mengirim hujan. Seperti lima tahun lalu yang tiba-tiba kau menemukan di kota aku bekerja. Saat itu kau seolah ingin menegaskan tak perlu ada penjelasan akan sebuah kekecewaan masa lalu. Sebab kenangan terlalu memberatkan kaki kita dalam melangkah.

Dan sore hari aku harus menerima teorimu itu. Setiap aku melihat senja kita dulu langkah kakiku untuk pulang terayun berat tak seperti dulu yang lincah berlari karena takut petang. Tentu alasan kita berbeda. Kau berat karena terlanjur masuk ke rahasia di balik senja yang dulu kau angankan ayah dan ibumu. Sebuah keluarga bahagia dan harmonis.

Sedang aku enggan pergi karena senja satu-satunya yang mengingatkanku tentang engkau. Tentang angan dan cita-cita. Bahkan tentang arti cinta karena sebelum keberangkatanmu ke negeri yang sekarang kau tinggalkan. 

Negeri yang kutahu hanya lewat peta, kau memasukkan secarik kertas ke saku celanaku jika dipandang tak seperti surat cinta romantis yang biasanya kutulis untuk perempuan-perempuan yang datang dan pergi mengisi hari dan hatiku.

Ikutlah denganku dan kita buat rahasia senja.

Rahasia senja tak pernah menjadi rahasia.

Aku tetap dan selalu menyangimu, Key….  

NB : Temui aku besok pagi di bandara. Dan kau tak perlu lagi mencari rahasia senja. Kita akan membangun negeri yang senja pun tak malu mengatakan rahasianya.

Esok harinya aku tetap diam di kamar denhan memegang secarik kertas itu hingga senja. Aku tetap menikmati senja dengan rahasianya daripada harus bersamamu dan tak menghiraukan kita sama-sama lanjut usia.

×
Berita Terbaru Update