Foto Penulis : Tgk Mukhtar Syafari, MA
GEMARNEWS.COM , OPINI - Pilpres yang digelar pada 14 Februari 2024 diduga kuat telah terjadi kecurangan yang sangat brutal dan secara terang terangan.
Begitu banyak kecurangan yang diungkapkan para pakar melalui berbagai kesempatan. Tidak hanya oleh tim pasangan kontestan tapi juga kalangan aktifis dan akademisi non partisan.
Mulai dari dugaan 54 jt DPT bermasalah, putusan MK yang dinilai cacat etik, penerimaan calon yang tidak sesuai aturan yang berlaku, penggunaan sumber daya negara, penyaluran bansos dengan nilai fantastis jelang Pilpres, sirekap yang bermasalah dan sederet dugaan pelanggaran lainnya.
Politik gentong babi juga dilancarkan pasca merosotnya perekonomian masyarakat karena pandemi covid 19. Rakyat mendapat bantuan sosial jelang Pilpres disaat kondisi ekonomi ambruk. Hal ini diduga kuat untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu.
Penyelenggaraan Pilpres 2024 juga mendapat sorotan dari dunia internasional. Anggota Komite HAM PBB, Bacre Waly Ndiaye menyoroti netralitas Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024. Itu berkaitan dengan pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto.
Dalam Sidang Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights) di markas PBB Jenewa, Selasa, 12 Maret 2024 Waly Ndiaye juga mempertanyakan intervensi pejabat pemerintahan Indonesia untuk mempengaruhi proses pemilu.
Dia meminta komite HAM PBB untuk menyelidiki insiden tersebut. "Langkah apa saja dilakukan untuk memastikan pejabat tinggi termasuk Presiden agar tidak terlalu mempengaruhi proses pemilu secara tidak semestinya? Apakah tuduhan kami soal intervensi pemilu sudah diselidiki?" tanya Waly Ndiaye kepada perwakilan pemerintah Indonesia (SINDOnews, 16/3/24)
Walaupun begitu, kabarnya KPU tetap akan mengumumkan hasil pleno rekapitulasi hasil Pemilu dan Pilpres 2024 sesuai jadwalnya.
Tim paslon yang merasa dirugikan dapat menggugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi tim paslon dan sebagian masyarakat sudah kurang percaya terhadap integritas hakim konstitusi dalam mengambil keputusan. Belakangan ini terjadi distrust yang begitu tinggi terhadap MK pasca putusan MK yang memberi ruang pencalonan Gibran meski tidak cukup umur.
Sulit rasanya jika berharap MK dapat memutuskan adanya Pilpres putaran ke 2 tampa adanya Gibran, putra sulung Presiden Jokowi yang dinilai sebagai penyebab utama sederet pelanggaran itu terjadi.
Belum lagi desakan agar MK mendiskualifikasi pasangan 02 yang diduga telah melakukan pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
Namun tidak tertutup kemungkinan, MK akan memutuskan sesuai hati nurani tampa ada intervensi dari siapa pun demi menyelamatkan demokrasi sebagai amanah konstitusi.
Secercah harapan masih ada di gedung DPR RI. Di mana massa dari berbagai instrumen rakyat, termasuk civitas akademika dari berbagai Perguruan tinggi mendesak penggunaan hak angket oleh anggota DPR RI sesuai konstitusi untuk menyelidiki pelanggaran Undang undang oleh penyelengga Pemilu dan oleh Presiden. Dan ini berhujung kepada tuntutan pemakzulan Presiden Jokowi.
Jika dua lembaga negara (MK dan DPR) tidak netral dan proaktif menyerap aspirasi rakyat untuk menyelidiki dan menyelesaikan dugaan pelanggaran Pemilu (Pilpres) dan pelanggaran undang undang negara melalui penggunaan hak angket.
Maka dapat dipastikan berbagai elemen rakyat akan menggunakan Parlemen jalanan dan ini akan berpotensi menimbulkan kerusuhan dan menguras energi dan pikiran serta potensi perpecahan bangsa.
Demi menyelamatkan demokrasi, sepertinya gelombang amarah rakyat tidak bisa dikendalikan. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara yang dijamin konstitusi akan mengambil kembali mandatnya dengan caranya sendiri jika MK tidak bersikap netral dalam mengambil keputusan.
Apalagi jika politik transaksional dan politik saling sandera terjadi untuk menggagalkan bergulirnya penggunaan hak angket oleh anggota DPR sesuai UUD 45.
Rakyat sepertinya tidak akan membiarkan lahirnya pemimpin melalui proses kecurangan dan ketidakadilan.
Jika kejahatan demokrasi ini dibiarkan tampa penyelesaian maka ke depan akan sangat mudah kekuasaan itu dikendalikan oleh pihak tertentu. Perampok dan penjahat pun bisa berkuasa asalkan memiliki finansial yang cukup untuk membeli suara rakyat. Dan negara ini berada dalam cengkraman beberapa oligarki sebagai pemilik modal.
Rakyat kembali terjebak oleh penyakit inferiority complex, merasa tidak berdaya. Dan ini akan mengembalikan kondisi seperti di zaman penjajahan.
Islam melarang seseorang berambisi menjadi pemimpin, apalagi dengan menghalalkan segara cara untuk meraih kekuasaan. Bahkan Rasulullah melarang seseorang meminta jabatan sebagaimana sabdanya:
“Wahai Abdurrahman, jangan minta jadi pemimpin. Kalau kamu jadi pemimpin karena permintaan atau keinginanmu, maka semua urusan menjadi urusanmu sendiri (Allah tidak menolong). Tapi kalau kamu jadi pemimpin bukan atas permintannmu atau keinginanmu, Allah akan membantumu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang meminta jabatan sebagai pemimpin dan berambisi untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara maka pemimpin tersebut tidak akan mendapatkan pertolongan Allah dalam kepemimpinannya. Maukah kita dipimpin oleh penguasa yang tidak mendapatkan pertolongan Allah?
Pilpres di Aceh
Hasil pleno rekapitulasi Pilpres oleh KPU sejauh ini, AMIN cuma unggul di dua Provinsi. Aceh satu satunya Provinsi dengan kemenangan mutlak untuk pasangan AMIN hampir menyentuh 74% setelah Sumatera Barat yang unggul 56%.
Dan ini berbanding terbalik dengan kemenangan Prabowo - Sandi yang mencapai 82% pada Pilpres 2019. Tapi rakyat Aceh telah mencabut mandat kepercayaan untuk Prabowo pada Pilpres 2024 sejak Prabowo berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi.
Rakyat Aceh sangat kecewa jika Capres pilihannya dicurangi. Pada Pilpres 2019, Muzakkir Manaf (ketua tim Prabowo Aceh dan Ketua Umum Partai Aceh) mendesak digelar Referendum untuk Aceh karena Pilpres 2019 diselimuti berbagai kecurangan.
Klausul ‘self-determination’
Aceh telah lahir 5 abad yang lalu, atau pada tahun 1511. Kesultanan Aceh pernah berada pada peringkat ke 5 Kesultanan terbesar di dunia. Aceh satu Kesultanan yang tidak pernah dijajah negara mana pun di dunia. Dan Aceh menjadi daerah modal bagi berdirinya Indonesia. Tampa bantuan Aceh. Indonesia belum merdeka saat itu. Meskipun kemudian Aceh selalu dikhianati janjinya oleh pemerintah sejak Soekarno - Jokowi dan pernah diperangi selama puluhan tahun.
Konflik bersenjata selama puluhan tahun antara Pemerintah RI dan GAM berakhir melalui meja perundingan di Helsinki Filandia.
Dalam MoU Helsinki pada poin 2.1 dengan jelas tertulis klausul bahwa: “Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”.
Kalau kita buka isi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, disebutkan pada Pasal 1 bahwa:
“setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Berdasarkan hak asasi tersebut, setiap bangsa berhak untuk menentukan status politik bangsanya dan menjalankan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka sendiri dengan bebas”.
Mengomentari istilah self-determination dalam berbagai resolusi dan konvenan PBB, para pakar hukum internasional tidak memiliki perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan self-determination atau hak penentuan nasib sendiri.
Menurut mereka, hak penentuan nasib sendiri dirumuskan: Pertama, sebagai hak dari suatu bangsa dari suatu negara untuk menentukan bentuk pemerintahannnya sendiri atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri internal (right of internal self-determination).
Kedua, hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang merdeka atau disebut juga hak penentuan nasib sendiri eksternal (right of external self-determination) (Sidik Saputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, 2006:192).
Berdasarkan poin 2.1 perjanjian MoU Helsinki, Aceh berhak menentukan nasib politiknya melalui jajak pendapat atau yang dikenal dengan istilah Referendum.
Tuntutan Referendum pernah di gelar pada 8 November 1999. Dan 2 juta rakyat Aceh menghadiri Sidang Umum - Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) di halaman Mesjid Raya Banda Aceh
Tuntutan pelaksanaan Referendum secara Damai bukanlah hal yang tabu dalam negara demokrasi. Sudah merupakan hal yang lumrah, Referendum sering digelar di negara maju dan negara berkembang untuk menentukan nasib bangsanya.
Jika demokrasi Indonesia tidak bisa diselamatkan karena ambisi berkuasa oleh penguasa dengan melanggar perundang-undangan yang berlaku.
Untuk apa Pemilu dan Pilpres ini digelar dengan anggaran yang begitu besar jika penguasa bisa mengendalikan hasil Pemilu dan Pilpres.
Inikah saatnya sistem negara Kesatuan untuk ditinjau kembali dan beralih menjadi negara federal seperti AS, Malaysia dan beberapa negara maju lainnya?
Mungkin ada harapan dari penguasa saat ini untuk mengubah sistem Republik menjadi monarki seperti Arab Saudi. Pemimpin atau raja saat ini bisa menunjuk langsung putra mahkota sebagai pemimpin selanjutnya?
Atau inikah saatnya, negara mengembalikan mandat kepada Kerajaan dan Kesultanan untuk mendirikan negara sendiri yang lebih adil dan sejahtera, tanpa dibayangi oleh kecurangan dan ketidakadilan sebagaimana kejayaan di masa silam?
Kita semua berharap agar dugaan kecurangan ini bisa diselesaikan secara jujur dan adil serta bermartabat oleh lembaga terkait sehingga pemimpin ke depan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Tgk Mukhtar Syafari, MA
Penulis : Aumnus Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Pemerhati Politik Aceh