GEMARNEWS.COM , OPINI - Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan kumpulan para ahli hukum tata negara akan mampu menafsirkan konstitusi dengan menggunakan hati nuraninya atau terjebak oleh stagnasi dalam berpikir untuk menafsirkan UUD 45 pasal 24C dalam memutuskan perselisihan tentang hasil Pilpres 2024.
Kalau perselisihan tentang hasil pemilihan umum hanya ditafsirkan dengan angka angka. Bagaimana kalau ternyata perselisihan hasil itu terjadi, misalnya di puluhan ribu TPS. Cukupkah waktu bagi para pemohon untuk mengajukan saksi yang hanya diberikan waktu satu hari dalam persidangan untuk membuktikan kecurangan tersebut.
Oleh karena itu kewenangan MK sesuai konstitusi pasal 24C dapat ditafsirkan sebagai kewenangan untuk menentukan siapa pemenangnya. Bisa jadi MK memutuskan yang kalah menjadi menang atau yang menang menjadi kalah karena kecurangan yang dilakukan secara TSM.
Hal ini sebagaimana penjelasan Ketua MK periode pertama, Prof Jimly Asshiddiqie beberapa hari sebelumnya bahwa MK itu bukan Mahkamah Kalkulator. Pasal 24C UUD 45 bisa dipahami kewenangan mengadili perselihan suara dan juga keabsahan siapa mendapatkan kursi.
MK itu berwenang memutus yang menang jadi kalah, yang kalah jadi menang, bukan hanya angka. Jadi kewenangan MK memutus, 1). soal perhitungan suara; 2). mengenai keabsahan kursi untuk siapa, dan itu tidak selalu menyangkut soal angka.” (kompas.tv 5/4/24)
Sebenarnya tidak sulit untuk membuktikan kecurangan secara TSM. Jika Presiden terbukti cawe cawe dan terlibat intervensi serta menggunakan aparatur negara, mulai Menteri, Kepala Lembaga, Pj Gubernur, Pj Bupati dan Wali Kota, Camat hingga Kepala Desa. Ini menjadi bukti kecurangan secara TSM yang cukup waktunya untuk dapat dibuktikan dalam satu atau dua hari persidangan di MK.
Belum lagi jika Presiden terlibat politisasi anggaran negara untuk memenangkan paslon 02. Kalau bagi bagi beras 10 Kg jelang Pilpres sebagaimana disebutkan Menteri Keuangan bukan bagian dari Pelinsos atau bukan bantuan sosial. Tetapi apapun namanya atau istilahnya jika waktunya tidak tepat maka ini patut diduga bagian dari politisasi anggaran untuk Pilpres.
Apalagi alasan Sri Mulyani bahwa bantuan beras melalui Bapanas untuk menjaga stabilitas harga beras. Ini alasan yang sangat kontradiktif (bertolak belakang) karena fakta yang terjadi setelah pembagian beras gratis justru harga beras menjadi naik.
Sederet kecurangan inilah, MK bisa membatalkan keputusan KPU yang memenangkan Prabowo-Gibran.
Kecurangan Pilpres 2024 di Indonesia mendapat sorotan secara meluas di dunia internasional, tidak hanya PBB tetapi juga perhimpunan hakim konstitusi se dunia. Ini menjadi pukulan telak bagi demokrasi Indonesia di masa kekuasaan Presiden Jokowi.
Jokowi sepertinya begitu takut akan kehilangan kekuasaannya, indikasinya Jokowi menginginkan penambahan Periode ke 3 atau penambahan masa jabatannya karena alasan baru siap pandemi. Tetapi ini ditolak mentah mentah oleh PDI-P perjuangan karena itu bertentangan dengan konstitusi. Dan ini sangat berbeda dengan sikap SBY di akhir periode ke 2 kepemimpinannya.
Oleh karena itu patut diduga ada persoalan besar yang ingin ditutupi Presiden Jokowi ketika ia begitu berambisi meneruskan kekuasaan melalui anaknya ketika plan sebelumnya gagal terealisasi.
Langkah terakhir pun dilakukan dengan mencalonkan anaknya meskipun dengan menempuh jalur cepat melalui MK dimana adik Iparnya selaku Ketua MK merubah isi UU Pemilu dengan konsekuensi yang ternyata menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan menyita perhatian dan kritikan pedas dari banyak guru besar universitas ternama dan civitas akademik perhimpunan Perguruan tinggi se Indonesia
*Tugas Bawaslu Diambil Alih MK*
Bawaslu RI dinilai lalai (jika tidak mau disebut bersekongkol) dalam menjalankan tugasnya berkenaan penerimaan pendaftaran Gibran sebagai Cawapres oleh KPU.
Dalam UU no 7 tahun 2017 pada pasal 93 (d) disebutkan salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi tahapan penyelenggara Pemilu, di antaranya mengawasi pendaftaran calon peserta pemilu sesuai perundangan dan aturan yang berlaku.
Pada pasal yang sama poin (l) tugas Bawaslu juga disebutkan dengan jelas mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU (PKPU).
Sebagaimana diketahui, pada saat pendaftaran Gibran tgl 25 Oktober. Aturan yang berlaku adalah PKPU no 19 tahun 2023. Bukan PKPU yang disahkan tgl 3 November 2023.
Terungkap berdasarkan keterangan saksi di MK, sebenarnya KPU menyadari pentingnya keputusan MK No 90 tahun 2023 ditindaklanjuti melalui perubahan PKPU sehingga KPU mendesak Dirjen di Kemenkumham agar segera sahkan PKPU baru tampa konsultasi dengan DPR tapi hal ini ditolak Kemenkumham.
Seharusnya Bawaslu memiliki tugas yang aktif dan responsif dalam melakukan pengawasan tahapan dan penyelengaraan Pemilu, termasuk mengawal tahapan pendaftaran calon sesuai PKPU yang berlaku. Jika lalai dan merugikan para pihak karena pelanggaran aturan yang berlaku maka MK bisa saja mengambil alih tugas Bawaslu dalam mengambil keputusan di MK.
Hal ini sebagaimana disebutkan anggota MK, Prof Arif Hidayat dalam sidang pada 1 April 2024: kalau permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya tidak tertangani dengan baik oleh Bawaslu, maka bisa saja itu ditangani oleh Mahkamah," ucap dia.
Kalau belum mau diselesaikan oleh Bawaslu, maka Mahkamah harus menyelesaikan supaya kepastian hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu bisa tercapai, sehingga keadilan itu berlaku untuk para pihak," ucap Arief. (Kompas.com 1/4/24).
Laporan pelanggaran pemilu seperti ada beberapa menteri yang bagi bagi bantuan dengan menyebut dari Presiden Jokowi dan mengajak memilih anaknya Gibran. Termasuk penerimaan pendaftaran Gibran oleh KPU yang tidak sesuai dengan PKPU di antara masalah yang tidak tertangani oleh Bawaslu, maka MK berhak menyelesaikan perkara ini dengan membatalkan pencalonan Gibran demi terwujudnya kepastian hukum agar penetapan hasil Pilpres tidak cacat hukum yang menimbulkan perdebatan sepanjang periode.
Banyak pihak dan elemen bangsa berharap agar MK bisa menjadi pengawal demokrasi dan penjaga konstitusi. Jika MK tidak bisa membaca dan mempertimbangkan berbagai kecurangan dalam pengambilan keputusan MK pada 22 April.
Secara tidak langsung MK telah memberikan pembenaran bagi penguasa untuk berbuat curang sebrutalnya untuk mendapatkan suara mutlak sehingga tidak ada satupun lembaga pengadilan yang bisa mengadilinya.
Jika ini terjadi maka kita akan menyaksikan Pemilu 2029 akan lebih brutal dan lebih barbar kecurangannya sehingga Indonesia akan bubar di tahun 2030 sebagaimana prediksi Prabowo pada Piplres sebelumnya.
Penulis
Tgk Mukhtar Syafari MA
Alumnus PPs UIN Ar-raniry, seorang aktivis dan pemerhati politik.