GEMARNEWS.COM , PIDIE– Keberadaan Rohingya di Aceh menjadi pembahasan dalam forum konsultasi masyarakat sipil Aceh yang dilaksanakan di Kantor Kesbangpol, Pidie Selasa siang,. (2/6/2024). Hadir sebagai pemantik diskusi itu Kepala Kesbangpol Pidie, Teuku Iqbal S.STP, MSi bersama akademisi Universitas Malikussaleh DR Amrizal J Prang SH, dan Ketua Forum Kebangsaan Umat Beragama (FKBU) Tengku Junaidi Usman SHI.
Pidie menjadi lokasi pelaksanaan Forum Konsultasi Publik karena wilayah ini termasuk salah satu Lokasi pendaratan pengungsi Rohingya yang telah berlangsung sejak Desember 2023 lalu. Pertemuan dibuka oleh Asisten III Setdakab Pidie, Drs Sayuti, M.M.
Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Pidie sebanyak 406 orang. Mereka tinggal di dua lokasi yang disediakan pemerintah setempat, yakni 277 orang di kamp penampungan Mina Raya dan 179 orang lainnya di Kulee. Pemerintah Kabupaten Pidie termasuk cukup aktif membantu penanganan mereka.
Langkah pemkab Pidie menangani pengungsi itu merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang pengungsi dari luar negeri. Hanya saja, disampaikan oleh Teuku Iqbal, Pemkab Pidie tidak bisa mengalokasikan dana untuk penanganan pengungsi itu.
“Aturan Perpres memang tidak memberi ruang kepada Pemerintah daerahj untuk penanganan pengungsi. Sejauh ini kita terpaksa bekerja berdasarkan gotong royong atas rasa kemanusiaan,” kata Iqbal.
Tak Bisa dibantah, bahwa kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh sempat memunculkan perdebatan di masyarakat. Ada beberapa yang menolak tapi banyak pula yang menerima atas dasar kemanusiaan. Kelompok yang menolak merasa keberatan karena menilai pengungsi itu banyak yang berprilaku tidak terpuji.
Menyikapi sikap penolakan warga ini, Tengku Junaidi Usman selalu ulama dan juga pengurus Forum Kebangsaan Umat Beragama Pidie meminta agar masyarakat jangan menyakiti pengungsi Rohingya itu. Kalaupun ada prilaku pengungsi itu yang salah, menurut Junaidi, yang harusnya dipersoalkan adalah prilaku mereka.
“Jangan hanya karena ada yang berprilaku buruk, langsung disalahkan semua pengungsinya. Mereka orang yang menderita. Sangat tidka etis menyakiti mereka hanya karena ada yang berprilaku tidak baik,” kata Junaidi.
Meski sampai saat ini Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi, namun menurut Junaidi, hal itu bukan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia menolak mereka.
“Kita harus ingat, ada Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia tahun 1990 yang disepakati organisasi negara Islam Internasional. Indonesia termasuk di dalam organisasi itu,” kata Junaidi.
Deklarasi Kairo juga menegaskan tentang pentingnya bantuan kepada pengungsi korban kekerasan.
“ Deklarasi itu pada dasarnya sama dengan Konvensi PBB. Perbedaan, Deklarasi kairo memuat beberapa aturan syuariah Isla,. Tapi kalau yang sifatnya HAM tetap sama dengan pandangan PBB. Merujuk kepada aturan ini, maka seharusnya Indonesia harus membantu mereka,” tambah Junaidi.
Adapun sikap sebagian masyarakat yang menolak kehadiran pengungsi itu, menurut Junaidi, sangatlah disayangkan. Ia menilai, salah satu factor penolakan itu karena ada masyarakat yang termakan hoax atau kabar yang tidak jelas asal usulnya.
“Aceh ini termasuk wilayah yang tinggi penyebaran hoak-nya. Masyarakt sebaiknya hati-hati mencerna informasi soal Rohingya. Mereka itu sedang dalam kesulitan karena tidak ada negara yang mengakui mereka. Sebaiknya kita bantu,” kata Junaidi.
Senada dengan Junaidi, hal yang sama juga disampaikan Amrizal J Prang selalu akademisi. Amrizal mengakui, Indonesia tidak termasuk yang meratifikasi Konvensi PBB 1951. Namun bukan berarti Indonesia harus menolak kehadiran mereka.
“Kita punya Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Perpres Nomor 125/2016 yang didalamnya dijelaskan norma dalam menangani pengungsi konflik. Jadi tidak seenaknya kita harus memulangkan mereka,” kata Amrizal.
Forum konsultasi membahas pengungsi Rohingya itu dihadiri sekitar 60 peserta dari berbagai organisasi masyarakat di Pidie. Beberapa dari mereka aktif memberi pandangan.
Dari usulan yang muncul, pertentangan tetap saja ada. Beberapa dari peserta tetap meminta agar masyarakat Aceh menerima kehadiran pengungsi itu. Tapi ada pula yang bersikeras menentang.
Perdebatan pendapat itu memberi daya tarik tersendiri terhadap pertemuan tersebut sehingga beerapa peserta meminta agar forum seperti itu diselenggarakan secara berkala agar aspirasi masyarakat dapat ditampilkan ke ruang public.
Pertemuan masyarakat sipil itu juga menjadi ajang bagi Kesbangpol Pidie mensosialisasikan kegiatan penyambutan HUT Kemerdekaan RI ke-79 pada 17 Agustus mendatang. Teuku Iqbal membagikan sejumlah bendera kepada para peserta untuk dikibarkan di rumah dan kantor masing-masing. ( * )