YOGYAKARTA, GEMARNEWS.COM - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat dan berbagai organisasi. Khususnya berkaitan dengan subtansi kesehatan reproduksi menyangkut ketentuan penyediaan alat kontrasepsi, yang memungkinkan remaja dan pelajar untuk mendapatkan akses terhadap alat kontrasepsi.
Menanggapi
terbitnya peratuan ini, ‘Aisyiyah melakukan kajian dan merumuskan pandangannya
dari aspek hukum. Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah
menyampaikan bahwa kajian ini meliputi aspek formal yakni prosedur hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan) maupun aspek material terkait
substansi yang diatur dalam PP.
Terkait
aspek formal, PP ini dinilai memiliki jumlah pasal yang terlalu banyak. “Peraturan
dengan terlalu banyak pasal dapat menjadi sangat kompleks, membingungkan, dan
sulit dipahami oleh pembaca, terutama oleh masyarakat umum yang tidak memiliki
latar belakang hukum. Ini bertentangan dengan prinsip legal drafting yang
mengutamakan kejelasan dan kemudahan pemahaman,” papar Salmah.
Kemudian PP
No. 28 tahun 2024 tidak sinkron dengan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
yang mengatur tentang sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan di mana
hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang telah terikat dengan
perkawinan yang sah dan tercatat di depan pegawai pencatat nikah. “Pada PP. No.
28 tahun 2024 ini, sepertinya memberi isyarat dibolehkannya perkawinan anak dan
secara implisit dapat diinterpretasikan sebagai bentuk legalisasi perilaku seks
bebas bagi pelajar,” terang Salmah.
‘Aisyiyah
juga menyoroti kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan PP.
"Sebagaimana dikeluhkan banyak pihak bahwa uji publik atas RPP Kesehatan
sangat minim, kurang mengakomodir berbagai komponen masyarakat khususnya yang
berkepentingan dengan substansi RPP yang sangat banyak tersebut."
Dari aspek
substansi, ‘Aisyiyah menyoroti dua pasal yakni Pasal 103 dan Pasal 104. Pertama
, terkait Pasal 103 ayat 4 butir e PP No. 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang
penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. “Pasal ini secara
eksplisit menyatakan bahwa pemerintah menyediakan pelayanan dan alat
kontrasepsi untuk remaja atau pelajar, yang menimbulkan kekhawatiran terkait
potensi penyalahgunaan serta meningkatnya perilaku seks bebas di kalangan
pelajar,” ucap Salmah. Menurutnya, ayat ini memberikan ruang pada anak usia
sekolah dan remaja untuk mengakses alat kontrasepsi yang digunakan dalam
melakukan hubungan seksual agar tidak berakibat kehamilan.
Kedua , pada
Pasal 104 tentang upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa. Ayat (2) huruf b.
yang mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa, dinyatakan bahwa
pemberian KIE paling sedikit mengenai perilaku seksual yang sehat, aman, dan
bertanggung jawab. Salmah menyampaikan bahwa ayat ini multi tafsir, yang dapat
dipahami tidak hanya dapat dilakukan pasangan suami isteri tetapi juga dapat
dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan. “Jadi dari ketentuan
tersebut tidak jelas apakah hubungan seks dilakukan di dalam pernikahan atau di
luar pernikahan. Ketentuan ini dapat menimbulkan pemahaman tentang hubungan
seksual di luar pernikahan atau melegalkan seks bebas.”
Selanjutnya
pada Pasal 104 Ayat (3), tentang pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia
dewasa, pada butir e, tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia
subur dan kelompok yang berisiko. Ayat ini juga dinilai multi tafsir. “Pasangan
usia subur yang mendapat layanan alat kontrasepsi semestinya hanya pasangan
suami istri yang terikat dengan perkawinan yang sah dan tercatat di depan
pegawai pencatat nikah yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, tentang
Perkawinan, pasal 2 ayat (1) dan (2),” paparnya.
Ketiga ,
ketentuan Pasal 103 ayat (4) huruf b,
Pasal 104 ayat (2) huruf b, dan Pasal
129 ayat (2) huruf d yang disebut Salmah banyak menyimpang dari norma agama dan
susila karena memungkinkan terjadinya seks bebas atau hubungan seksual di luar
pernikahan yang melanggar nilai-nilai
moral dan agama serta merendahkan martabat manusia. “Hal itu tidak sejalan atau
kontradiktif dengan ketentuan Pasal 98
dari PP tersebut, yang menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi harus
dilaksanakan dengan menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
martabat manusia dan sesuai dengan norma agama,” terangnya.
Terkait
hasil kajian ini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur
Rochimah menyampaikan bahwa ‘Aisyiyah telah merumuskan beberapa usulan yang
akan disampaikan kepada pemerintah “Kami
akan menyampaikan usulan perubahan terhadap pasal-pasal yang tidak sesuai dan
mengusulkan agar segera dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang
menjelaskan pasal-pasal yang krusial dan multi tafsir dimaksud,” ucap Tri.
Salah satu poin yang menjadi perhatian ‘Aisyiyah adalah terkait layanan
kontrasepsi agar hanya diberikan pada pasangan suami istri yang diikat dengan
perkawinan yang sah dan tercatat di depan pegawai pencatat nikah.
Kemudian,
‘Aisyiyah mengharapkan agar pemerintah dalam hal ini kementerian dan
kelembagaan terkait agar melakukan pendidikan HKSR dengan menganggarkan program
Pendidikan HKSR ini dalam tahun yang berjalan, dari tingkat pusat sampai daerah
menggandeng multipihak baik organisasi masyarakat, lembaga masyarakat, forum
anak, forum remaja, dunia pendidikan dan private sektor. “Kami berharap semoga
kita semua berkomitmen dalam memberikan perhatian atas pelayanan kesehatan
reproduksi untuk semua menuju Indonesia yang sehat dan sejahtera,” tegas Tri. (red)