GEMARNEWS.COM, OPINI - Beberapa hari yang lalu cukup viral di media pernyataan Jubir Bustami - Syech Fadhil, Syakya Meirizal yang meminta Mualem agar mundur dari Wakil Wali Nanggroe dengan alasan karena Mualem berpotensi besar akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik yang maju sebagai calon Gubernur Aceh.
Pernyataan ini dimuat harian Serambi Indonesia Kamis, 31/10/2024. Hal ini menjadi viral karena ada pertanyaan sejak kapan Mualem jadi Wakil Wali Nanggroe. Padahal Mualem juga masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Aceh di periode ke empat.
Namun pernyataan Syakya Meirizal menimbulkan tanggapan yang terkesan tendensius dan tidak nyambung dari Jubir Mualem - Dek Fad, Muhammad Saleh.
Menanggapi hal tersebut, Jubir Paslon nomor urut 2, M. Saleh sangat menyayangkan pendapat Syakya itu. Sebab, apa yang disampaikan Syakya membuktikan bahwa yang bersangkutan tak paham aturan dan prosedur.
Harusnya sebut Saleh, Syakya belajar dulu dari aturan yang ada, bukan asal bunyi alias asbun dengan narasi tendensius dan provokatif.
Katanya aktivis, tapi kok minus pengetahuan ya. Harusnya dia paham, ini bukan ranah cuap-cuap di media sosial, yang bisa bicara seenaknya. Tapi, ini ranah politik yang setiap argumentasi harus memiliki basis data dan aturan, kritik Saleh kepada Syakya Meirizal.
Saleh pun menyebut beberapa perundang undangan seperti UUPA dan Qanun No 10 tahun 2019 tentang Lembaga Wali Nanggroe dan lain lain yang menyebut tidak ada aturan yang dilanggar Mualem sehingga harus mundur dari Wakil Wali Nanggroe ketika maju sebagai Calon Gubernur.
Pernyataan Saleh sangat terkesan tidak nyambung karena Jubir Bustami, Syakya bicara sikap kenegarawanan dan etika Mualem.
Menurut Syakya, jabatan Mualem sebagai Wakil Wali Nanggroe berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik Pilkada 2024. Pernyataan Syakya sangat beralasan berdasarkan bukti yang ada.
Seharusnya M Saleh memberikan bukti terbalik bahwa tidak ada etika politik yang dilanggar Mualem sebagai Wakil Wali Nanggroe. Bukan justru menanggapi dengan menyebutkan tidak ada aturan yang dilanggar sehingga Mualem harus mundur dari Wakil Wali Nanggroe.
Ini terkesan sekali justru M. Saleh yang tidak paham perbedaan antara etika politik dan aturan hukum.
Sebelum Saleh bicara tidak ada aturan yang mengharuskan Mualem mundur dari Wakil Wali Nanggroe. Seharusnya Saleh lebih dulu tau ada tidak aturan yang membolehkan Mualem yang masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Aceh (PA) untuk menjabat Wakil Wali Nanggroe.
Dalam UUPA pasal 96 ayat (1) disebutkan bahwa: Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang Independen.
Dalam Qanun nomor 10 tahun 2019 tentang Lembaga Wali Nanggroe juga disebutkan pada pasal 2 poin (a) tentang prinsip Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemersatu yang independen dan berwibawa serta bermartabat.
Dalan UUPA dan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (LWN) cukup jelas disebutkan bahwa LWN sebagai lembaga yang independen. Jika independen, boleh tidak partisan atau anggota parpol tertentu. Berdasarkan UUPA, Mualem yang menjabat Ketua Umum Partai Politik boleh tidak menjabat anggota atau Wakil Wali Nanggroe?
M Saleh paham tidak pengertian istilah independen?
Jika memang UUPA dan Qanun Aceh sudah dilanggar prinsip independensi dan non partisan maka tidak usah mencari pasal yang menyatakan Mualem harus mundur jika maju Pilkada karena jabatannya melanggar UUPA dan Qanun Aceh.
Berbicara etika politik dan potensi memanfaatkan jabatan Wakil Wali Nanggroe untuk kepentingan Pilkada maka salah satu contohnya adalah pelaksanaan doa dan zikir bersama ban sigom donya untuk syuhada yang digelar di halaman Meuligoe Wali Nanggroe.
Zikir dan doa bersama itu cukup baik tapi akan ada pertanyaan besar dari masyarakat, kenapa zikir yang mengundang massa yang banyak itu digelar menjelang Pilkada di mana Mualem sebagai Wakil Wali Nanggroe maju sebagai Calon Gubernur Aceh.
Publik berhak mempertanyakan apakah zikir tersebut ada menggunakan anggaran LWN untuk mengundang massa.
Kenapa zikir Akbar untuk syuhada baru digelar sekarang, kenapa tidak digelar besar besaran setiap tanggal 4 Desember di Meuligoe LWN dan setiap tanggal 3 Juni di kuburan Wali Neugara Dr Tgk Hasan di Tiro di Gampong Mireu Aceh besar yang juga tempat makam Tgk Syiek di Tiro?
Kenapa beberapa tahun belakangan ini tidak ada lagi zikir dan khenduri Akbar di makam Wali Neugara setiap tanggal 3 Juni di hari meninggalnya Wali? Padahal itu tempat yang paling bersejarah di mana Wali Neugara pertama Tgk Syiek di Tiro dimakamkan.
Apakah kita sudah melupakan jasa besar dan perjuangan mereka.
Sebagai Jubir Mualem seharusnya M Saleh harus profesional, tidak menuduh orang tendensius dan tidak paham aturan, apalagi bernada merendahkan orang lain. Sementara dirinya justru yang tendensius dan tidak paham aturan.
Sebagai Jurnalis senior dan Pimpinan Redaksi suatu media, yaitu Modus Aceh seharusnya M Saleh memberikan contoh yang baik. Juru bicara jangan bersikap seperti buzzer bayaran.
M Saleh juga harus memperjelas statusnya, sebagai Pimpinan Redaksi suatu media atau Jubir Mualem atau justru tim buzzer bayaran. Jangan sampai ketiganya diaktifkan saat Pilkada 2024. Di mana profesionalitasnya.
Jika pun saat ini Mualem tidak mau mundur, sebaiknya ke depan Mualem dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe menggantikan Tgk Malik Mahmud Al Haitar yang sudah sepuh di usia 85 tahun untuk menuntaskan perjanjian MoU Helsinki.
Untuk Gubernur biar dijabat Om Bus yang lebih paham birokrasi, keuangan dan tata kelola pemerintahan. Semoga masyarakat Aceh semakin cerdas memilih pemimpin.
Penulis : Tgk Mukhtar Syafari S.Sos MA, Ketua Umum Relawan UMUM (Umara - Ulama) dan pengkaji pemikiran politik Islam Tgk Hasan di Tiro sejak 2013