Kenaikan PPN menjadi 12%
dipandang kurang sensitif pada dunia UMKM.
JAKARTA, GEMARNEWS.COM - Langkah pemerintah yang akan
menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen menuai kritik
dari kalangan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Serikat Usaha
Muhammadiyah (SUMU) memandang, kenaikan PPN yang efektif mulai tahun 2025 itu
sebaiknya dibatalkan.
Menurut Sekretaris Jenderal SUMU
Ghufron Mustaqim, saat ini umumnya perusahaan--banyak di antaranya UMKM--sedang
berjuang untuk bertahan (survive) di tengah turunnya daya beli masyarakat.
Tidak sedikit pula yang melakukan pengurangan jumlah karyawan atau bahkan
bangkrut.
"Kenaikan PPN tersebut tidak
sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif
terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikkan angka
pengangguran," ujar Ghufron Mustaqim dalam keterangan tertulis, Jumat
(15/11/2024).
Berdasar rilis Bursa Efek
Indonesia (IDX) tentang daftar perusahaan LQ45, sambung dia, rasio keuntungan
bersih (net profit) dengan pendapatan (revenue) hanya berkisar 11 persen. Itu
tak jauh berbeda dengan besaran tarif PPN yang akan dikenakan.
Ghufron menilai, tarif PPN yang
lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. Sebab,
harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat
membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
Ia mengingatkan, kebijakan yang
akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif
PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam
persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan
semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
"Di Vietnam, Kamboja, dan
Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia
seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap
turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil
Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.