Gemarnews.com, Banda Aceh - Ombudsman RI Perwakilan Aceh telah melakukan rapid assessment (kajian cepat) tata kelola layanan rujukan pasien. Hal ini untuk mengurangi jumlah laporan keluhan masyarakat tentang kesehatan, terutama menghindari pasien terlantar di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ketiadaan kamar rawat inap di rumah sakit.
Hasil kajian cepat tersebut diserahkan kepada Pemerintah Aceh, Kepala BPJS Cabang banda Aceh, Ketua DPR Aceh, Ketua DPRK Aceh Timur, Ketua DPRK Banda Aceh, Ketua DPRK Aceh Barat, perwakilan dinas kesehatan dan rumah sakit beberapa kabupaten/kota di Banda Aceh, Senin (16/12/2024).
Turut hadir dalam penyerahan hasil kajian Ombudsman ini mewakili Ketua DPRA/Anggota Komisi V, Kepala Biro Organisasi Pemerintah Aceh, dan Direktur RSUD ZA.
Hadir juga Ketua Persi Aceh, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh, Wakil Ketua I DPR Kota Banda Aceh, Ketua Komisi V DPR Kabupaten Aceh Timur, Ketua Komisi IV DPR Kabupaten Aceh Barat, Kepala Dinas Kesehatan Aceh, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Direktur RSU SAAS Aceh Timur, serta Wadir Pelayanan RS Cut Nyak Dhien Aceh Barat.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty menyampaikan, kajian cepat Ombudsman melalui tahapan deteksi potensi maladministrasi, telaah regulasi tentang pelayanan kesehatan, tata kelola rujukan pasien, serta pengumpulan dan analisis data lapangan.
"Kajian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Timur dan beberapa rumah sakit di Kota Banda Aceh, dengan melibatkan 41 responden dari 15 lokus,” ungkapnya.
Menurut Dian, hasil kajian menunjukkan penelantaran pasien di IGD terjadi salah satunya karena kendala dalam pelaksanaan Aplikasi Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute). Penggunaan aplikasi itu sendiri bermasalah karena kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis untuk tim pelaksana. Namun ada isu yang lebih mendasar, yaitu belum adanya harmonisasi, sinkronisasi, dan mitigasi risiko terkait tata kelola rujukan antara Kemenkes dan BPJS Kesehatan.
Ia menjelaskan, Ombudsman RI Perwakilan Aceh akan berkoordinasi dengan Ombudsman RI, sehingga permasalahan harmonisasi, sinkronisasi, dan mitigasi risiko terkait tata kelola serta bridging system dapat ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI bersama Kemenkes dan BPJS Kesehatan.
"Ombudsman telah melaksanakan serangkaian rapat koordinasi dengan 73 rumah sakit, dinkes, dan perwakilan RSUDZA pada akhir tahun 2023 lalu. Salah satunya terkait masih belum optimalnya penerapan Aplikasi Sisrute di banyak RSUD di berbagai kabupaten/kota di Aceh,” sambungnya.
Oleh karena itu, Ombudsman menyampaikan saran perbaikan untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, salah satunya meminta Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur untuk menerbitkan surat edaran. Surat edaran tersebut menegaskan kewajiban penggunaan Aplikasi Sisrute dalam melakukan rujukan pasien oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Selain itu, Dinas Kesehatan Aceh perlu menyosialisasikan secara langsung atau daring kepada dinas kesehatan seluruh Aceh terkait penggunaan Aplikasi Sisrute dalam melakukan rujukan pasien.
Dian juga menyampaikan RSUDZA perlu menyediakan informasi realtime dan akurat tentang ketersediaan kamar rawat inap, yang dapat diakses oleh publik baik secara maupun aplikasi.
"Kita perlu dorong bersama tata kelola layanan rujukan yang transparan dan akuntabel. Sisrute layanan pasien jangan terus dikelola dengan model layanan orang dalam,” tutup Dian.