Dok. foto : Junaidi Surya, SE
GEMARNEWS.COM ,OPINI - Negara Republik Indonesia telah menyatakan diri secara lugas dan tegas sebagai suatu negara berdasarkan kedaulatan hukum (rechtsstaat). Secara formal yuridis hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 1 ayat (3) “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum”.
Konsekuensi dari negara hukum salah satunya adalah ketundukan pada prinsip persamaan dan kesamaan semua warga negara di hadapan hukum tanpa melihat perbedaan suku, golongan, ras, agama dan warna kulit.
Senada dengan pasal tersebut, dalam buku Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia (Sri Soemantri, 2004) bahwa terdapat hal-hal pokok dalam negara hukum, yaitu :
Pemerintahan yang menjalankan tugas dan kewajiban berdasarkan hukum
Warga negara memperoleh jaminan atas hak-hak asasi manusia pada warganya
Pembagian kekuasaan dalam negara
Pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtelijke controle).
Sebagai Negara demokrasi terbesar sekaligus negara hukum di Asia Tenggara, Indonesia telah merekonstruksi UUD 1945 lewat amandemen pasal-pasalnya dalam upaya mengakomodir dan memfasilitasi hak asasi warga, salah satunya hak asasi terkait akses terhadap informasi penyelenggaran negara.
Hal itu dinyatakan lewat Amandemen Kedua UUD 1945 melalui Sidang Umum MPR pada tanggal 14-21 Oktober 1999 berupa penambahan pasal 28 butir F “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Guna memberikan landasan hukum bagi warga negara untuk memperoleh informasi publik telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang telah berlaku 2 tahun sejak tanggal diundangkan.
Di era reformasi saat ini, transparansi sebagai upaya untuk mencapai Good Governance merupakan suatu hal yang mutlak dilaksanakan. Salah satu cerminan dari transparansi adalah dijaminnya hak warga negara untuk memperoleh informasi yang terkait dengan lembaga negara/badan publik.
Hal ini sekaligus mencirikan suatu negara hukum dan demokratis sekaligus yaitu hadirnya ruang bagi kebebasan dan kesetaraan tiap warga negara terhadap akses informasi jalannya roda pemerintahan negaranya/badan publik. Juga berfungsi sebagai media/alat pengawalan terhadap keputusan dan kebijakan pembangunan yang akan dilakukan oleh para pemangku negara/badan publik lainnya.
Partisipasi warga negara mutlak diperlukan dalam upaya menciptakan iklim Good Governance sebagaimana yang dicita-citakan negara modern.
Good Governance adalah sebuah konsep yang mengharuskan terjalinnya kerjasama dan koordinasi yang sinergis antara 3 (tiga) stakeholder utama yaitu pemerintah, sektor swasta dan juga masyarakat (Ali, 2015; Escap, 2009; Keping, 2018 ; Weiss, 2000).
Ketiga institusi ini harus saling bersinergi secara proporsional, situasional dan komplementer tanpa ada satu pihak yang mendominasi dalam upaya mencapai kesetaraaan dan kesejahteraan komunal.
Konsep dan Peran Keterbukaan Informasi
Dalam pengertian umum informasi diartikan sebagai ketersediaan beraneka ragam bahan berupa pengetahuan atau sesuatu yang dianggap sebagai bahan untuk melakukan komunikasi dalam berbagai bentuk dan penampilan baik yang sifatnya tersedia/disajikan maupun yang ditutupi atau tidak untuk disajikan (Dimbley & Burton, 2020: Grunig & Grunig, 2013, Kang et al, 2019).
Hak atas informasi adalah hak asasi warga negara sebagai bahan awal melakukan proses komunikasi dan interaksi sosial. Sehingga semua warga negara punya kesempatan yang sama berpartisipasi dalam pembangunan ekosistem informasi suatu negara. Untuk itu, keterbukaan informasi oleh pemerintah setidaknya harus mengandung tiga unsur; transparansi, efesiensi dan partisipasi (Sumarto, 2003).
Keterbukaan informasi dipahami sebagai upaya negara dalam mendukung kesuksesan lembaga-lembaga pemerintah untuk mewujudkan fungsi dan perannya secara maksimal menuju terciptanya “Good Governance”. Keterbukaan informasi akan mampu meningkatkan akurasi, efesiensi dan efektifitas kebijakan yang diambil oleh badan publik karena terjadinya pertukaran informasi yang dilakukan (Yang & Maxwell, 2011).
Di Indonesia, jaminan terkait keterbukaan informasi telah diatur dalam pasal 28F dan 28J UUD 1945 yang kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Tujuan utama dari lahirnya undang-undang tersebut adalah tidak adanya lagi alasan buat badan publik untuk menutupi atau menyembunyikan informasi yang bersifat umum dan berdampak luas bagi masyaralat, terkecuali untuk informasi yang dikecualikan.
Badan publik harus secara berkala, tahunan atau serta merta memberikan informasi kepada masyarakat. Disisi lain, masyarakat juga dituntut memamfaatkan setiap informasi yang diperoleh secara baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam upaya penyelenggaraan keterbukaan informasi publik di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas mengelola, menjaga dan mengawasi penyelenggaraan keterbukaan informasi publik yaitu Komisi Informasi Publik yang berkedudukan di Pusat ataupun di Daerah.
Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan dan kekhususan, juga telah membuat Perda/Qanun No.7 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keterbukaan Informasi Publik. Sementara badan Komisi Informasi Publik di Aceh pertama kali dibentuk pada 19 Juni 2012 dengan sebutan Komisi Informasi Aceh.
Tugas utama Komisi Informasi Publik adalah menjalankan undang-undang keterbukaan informasi publik dan peraturan pelaksanaannya serta menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi non-litigasi.
Konsep dan Tata Kelola “Good Governance”
Konsep Good Governance menjadi salah satu acuan utama yang diterapkan oleh seluruh negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahannya. Setidaknya negara yang menerapkan Good Governance mendapatkan tingkat kepercayaan lebih atau sebagai jaminan bahwa kerjasama atau investasi yang akan dilakukan jauh lebih aman dan terkontrol (Rahimallah, 2022).
World Bank sebagai lembaga donor bantuan kepada negara-negara berkembang dan miskin di dunia mengemukakan bahwa prinsip-prinsip utama Good Governance adalah transparency, accountability, predictability yang sama dengan prinsip rule of law dan participation (Tjokroamidjojo, 2002)
Sementara LAN (Lembaga Administrasi Negara) dan BPKP Republik Indonesia meramu sembilan prinsip utama penerapan/indikator Good Governance yaitu;
Partisipasi Masyarakat
Supremasi Hukum
Transparansi
Stakeholder
Berorientasi pada konsensus
Kesetaraan
Efektifitas dan efesiensi
Akuntabilitas
Visi Strategis (Diwyanto, 2021)
Good Governance dapat disimpulkan sebagai sebuat metoda/konsep yang bertujuan menciptakan tatanan pemerintahan yang sabil, terbuka, responsif dan adaptif lewat kolaborasi unsur pemerintah, masyarakat dan sektor swasta.
Untuk mendukung hal itu, maka diperlukan sikap dan budaya institusi pemerintah yang jelas, bekerja efektif dan efesien, transparan dalam pengambilan keputusan, akuntabel dalam berbagai program tindakan, menghormati hak asasi manusia serta mebuka ruang partisipasi warga yang seluas-luasnya tanpa memandang perbedaan ras, warna kulit, agama dan kelompok sosial.
Gagasan Keterbukaan Informasi menuju “Good Governance”
Dengan diterapkan keterbukaan informasi publik di tiap penyelenggara pelayanan publik, setidaknya akan berdampak secara internal dan eksternal. Secara internal, dapat menghilangkan potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat di instansi terkait akibat terbukanya setiap aspek pengelolaan pemerintahan yang dapat diakses publik.
Secara eksternal, keterbukaan informasi publik bila benar-benar berjalan maka akan mendorong kesetaraan dan patisipasi warga untuk mengkritisi, memberi masukan dan memperbaiki tata kelola pelayanan.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya mutu layanan, terjaminnya kepastian layanan, terwujudnya kemudahan layanan bagi warga sehingga pada akhirnya dapat melahirkan kepercayaan warga terhadap instansi pelayanan publik (Yang & Maxwell, 2011).
Keterbukaan informasi publik sejatinya akan mendorong terciptanya Good Governance lewat proses check & balance dan mempermudah warga untuk mengetahui tindakan yang rasional sebagai kontrol sosial dengan membandingkan sistem yang ada. Hal ini akan terus mendorong perbaikan secara kontinu dan terpadu oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontrol partisipatif oleh publik. Pada akhirnya implikasi positif terbesar dari keterbukaan informasi adalah penegakan hukum yang mantap dan pemberatasan KKN (Fusi, 2022).
Terkait konteks membentuk iklim “Good Governance” dalam tata kelola badan publik di Aceh melalui peran keterbukaan informasi publik, penulis merumuskan suatu visi lewat pendekatan yang holistik dan katalis. Visinya adalah “Menjadikan Pemerintah Aceh sebagai katalisator utama dalam membangun sistem dan budaya pelayanan informasi publik yang proaktif, responsif, adaptif dan partisipatif untuk mewujudkan Good Governance di Aceh”.
Diantara misi untuk mencapai visi dimaksud adalah sbb:
Membumikan literasi dan budaya kritis warga Aceh untuk berani mengakses dan menggunakan informasi publik secara mandiri melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi.
Membangun sinergitas secara terpadu dengan stakeholder di Aceh yaitu badan publik, sektor swasta, lembaga pendidikan dan masyarakat dalam mewujudkan ekosistem pelayanan informasi publik yang transparatif, akuntabel dan partisipatif.
Meningkatkan kapasitas dan peran badan publik agar lebih proaktif dalam mengelola pelayanan informasi publik.
Mengoptimalkan sistem pengelolaan informasi publik di Aceh sehingga bisa meminimalkan sengketa informasi.
Ada beberapa gagasan utama yang penulis tawarkan dalam upaya menjalankan misi-misi tersebut demi tercapainya pemenuhan indikator “Good Governance” badan publik di Aceh, sbb :
Membentuk komunitas warga sadar informasi lewat sosialisasi berkala melalui kegiatan “Public Information Project” di tingkat desa, kampus atau instansi swasta.
Goes to Campus.
Sebagai intansi tridharma yang terkenal dengan semangat penelitiannya. Kebutuhan informasi publik oleh civitas akademik sangatlah tinggi. Perlu diadakan road show manajemen dan tata layanan informasi publik sehingga mereka mengetahui secara detil tentang prosedural layanan informasi publik.
Sudden Mobile Simulation. Perlu dibuat simulasi berkala kepada para instansi pelayanan publik secara mendadak untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mengelola informasi publik.
Scientific Competition & Exhibition dalam bentuk Lomba Karya Ilmiah, Kompetisi Debat Informasi Publik, Pameran Informasi Publik untuk memantik dan mendorong minta warga terhadap konsep dan layanan informasi publik.
Demikian opini singkat dan sederhana ini kami sajikan . Semoga menjadi referensi bagi pengambilan kebijakan dan program peningkatan kualitas pengelolaan layanan informasi publik dalam menciptakan iklim “Good Governance” di Aceh.
Penulis : Junaidi Surya, SE
Penasehat DPP LSM JARA
Pendiri Smart Institute Banda Aceh