BANDA ACEH GEMARNEWS.COM – Asset & Liabilities Committee (ALCo) Regional Aceh
merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPb) setiap bulan bersama dengan rekan-rekan Kementerian Keuangan
(Kemenkeu-Satu) Aceh yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk mendiskusikan
bagaimana realisasi APBN Regional Aceh, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. (30/1/2025)
ALCo Regional Aceh melaporkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Regional Aceh s.d. 31 Desember 2024.
Realisasi APBN Regional s.d. 31 Desember 2024 mencatat total pendapatan Rp7,75 T
(108,34%) dan total belanja Rp51,44 T (98,95%). Pendapatan tersebut terdiri dari penerimaan
pajak sebesar Rp6,09 triliun, atau terealisasi 100,84% dari target dan penerimaan
perdagangan internasional, termasuk bea dan cukai sebesar Rp380,92 miliar, atau telah
terealisasi sebesar 102,78% dari target. Selain itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
juga berkinerja baik dengan penerimaan sebesar Rp1,28 triliun, atau telah terealisasi 171,99%
dari target sebagai akibat meningkatnya Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) di bidang
kesehatan dan pendidikan.
Untuk PNBP yang dikelola oleh DJKN Aceh, salah satu kontributor utama adalah penerimaan
dari lelang yang mengalami kenaikan sebesar 7,89%, mencapai Rp4,67 miliar. Selain itu,
realisasi pokok lelang juga menunjukkan tren positif dengan kenaikan sebesar 8,36%, atau
menjadi Rp132,79 miliar. Dalam aspek pengelolaan piutang negara, penerimaan dari Biaya
Administrasi Piutang Negara meningkat hingga 13,30%, mencapai Rp88,29 juta. Di sisi lain,
DJKN mencatat adanya penurunan Outstanding Piutang Negara sebesar 4,36%, dengan total
penyusutan mencapai Rp6,49 miliar.
Sementara itu, Saldo Berkas Kasus Piutang Negara
berhasil dikurangi sebanyak 7,74%, sehingga kini tersisa 174 berkas.
Capaian ini mencerminkan upaya DJKN dalam mengoptimalkan penerimaan negara serta
mengelola aset dan piutang secara lebih efektif.
Ke depan, DJKN berkomitmen untuk terus
meningkatkan efisiensi pengelolaan kekayaan negara guna mendukung stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi nasional.
Realisasi belanja APBD (konsolidasi) s.d. 31 Desember 2024 sebesar Rp37,12 triliun (91,24%)
yang didominasi oleh belanja operasi senilai Rp25,90 triliun, berkontribusi 69,78% terhadap
jumlah belanja daerah. Realisasi belanja modal cukup menggembirakan karena mencapai
Rp3,86 triliun atau 96,76%. Sementara itu, realisasi pendapatan APBD Provinsi Aceh s.d. 31
Desember 2024 sebesar Rp36,26 triliun (91,88%).
Kontributor terbesar pendapatan APBD
masih pada pendapatan dari dana transfer senilai Rp30,31 triliun atau sebesar 83,57% dari
jumlah pendapatan daerah secara keseluruhan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencapai
Rp5,86 triliun (96,90%). Angka tersebut mengalami peningkatan dibanding bulan yang sama
tahun lalu, yakni sebesar 10%, bertambah sekitar Rp0,53 triliun.
Badan Pusat Statistik telah mengeluarkan rilis pertumbuhan ekonomi triwulan III dan mencatat
pertumbuhan Aceh sebesar 5,17% yoy. Untuk pertumbuhan ekonomi tahunan, akan dirilis
pada Februari nanti.
Menarik untuk melihat bagaimana pertumbuhan ekonomi Aceh tahunan
mengingat pada triwulan IV ada banyak serapan belanja pemerintah yang lebih besar dari
triwulan sebelumnya—apakah mampu menjadi stimulus/penggerak perekonomian daerah.
Pada bulan Desember 2024, inflasi Aceh yoy sebesar 2,17%, inflasi ytd 2,17%, dan inflasi mtm
sebesar 0,57%. Inflasi secara yoy ini sudah berada di dalam sasaran inflasi 2,5 +/- 1%. Artinya,
inflasi masih terkendali. Inflasi secara yoy didorong oleh naiknya indeks kelompok
pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 3,12%, kelompok
pakaian dan alas kaki sebesar 0,33%, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar
rumah tangga sebesar 2,73%, kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin
rumah tangga sebesar 1,04%, kelompok kesehatan sebesar 1,16%, kelompok rekreasi,
olahraga, dan budaya sebesar 2,90%, kelompok pendidikan sebesar 1,36%; kelompok
penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,22%; dan kelompok perawatan pribadi
dan jasa lainnya sebesar 5,99%.
Berdasarkan komoditas, inflasi mtm Aceh didorong oleh komoditas seperti telur ayam ras, ikan
bandeng/ikan bolu, ikan tongkol/ikan ambuambu, beras, ikan kembung/ikan gembung/ ikan
banyar/ikan gembolo/ ikan aso-aso, minyak goreng, kelapa, cabai rawit, ikan dencis, dan
daging ayam ras. Sementara itu, komoditas seperti tomat, jeruk, jeruk nipis/limau, emas
perhiasan, dan angkutan udara tercatat mengalami deflasi terbesar.
Untuk analisis tematik, tim ALCo masih menyoroti persoalan ketahanan pangan di Aceh,
terutama dari komponen pembentuk indikator ketahanan pangan itu sendiri. Namun, di sisi
keterjangkauan dan pemanfaatan, masih belum sebaik angka ketersediaan. Hal ini
menciptakan isu, utamanya pada stabilitas harga dan kualitas pangan itu sendiri, diperkuat
dengan berbagai masalah pada indikator social-kesehatan yang berkaitan dengan kebutuhan
pangan.
Peran Kanwil DJPb sebagai Regional Chief Economist memerlukan peningkatan kerja sama
dengan stakeholders yang memahami kondisi perekonomian daerah baik dari praktisi maupun
akademisi. Kanwil Ditjen Perbendaharaan terbuka untuk berkolaborasi dengan semua
pemangku kepentingan di Aceh baik itu untuk kebutuhan data maupun kajian bersama demi
sebesar-besarnya kebermanfaatan bagi masyarakat Aceh. (red)