Notification

×

Iklan ok

SISTEM PEMILU IDEAL, KEGAGALAN ARAH REFORMASI

Rabu, 01 Januari 2025 | 13.02 WIB Last Updated 2025-01-01T06:02:56Z

Dok. Foto Penulis : Marzuki Ahmad, SHI, MH

 

GEMARNEWS.COM, OPINI - Menandai fase baru politik Indonesia, tepatnya pada 21 Mei 1998, era otoritarianisme dan sistem sentralistik kita tinggalkan, kita meniti jalan hidup baru yakni jalan demokrasi dan penegakkan kedaulatan rakyat. Pilihan jalan itu merupakan komitmen dan konsensus yang dilakukan secara sadar oleh seluruh anak bangsa Indonesia tanpa ada tekanan dan dikte dari pihak manapun. 


Menurut Marzuki yang juga merupakan pemerhati sosial, politik di kabupaten Keurupuk Mulieng, Dalam perjalanan kehidupan politik Indonesia tersebut, dinamika kehidupan politik sangat berbeda bila dibandingkan dengan kehidupan politik era otoritarianisme. Pemilu pertama pasca Orde Baru yang diselenggarakan tahun 1999 menghasilkan konfigurasi politik yang bervariasi, kekuatankekuatan lama tetap eksis, sementara kekuatan-kekuatan baru lahir dengan semangat perubahan. 

Pasca Orde Baru, Indonesia sudah lima kali menyelenggarakan pemilu dengan sistem proporsional, pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup, sementara pemilu 2004 sebagai pemilu transisi dari proporsional tertutup menuju proporsional terbuka, sejak pemilu 2009, sistem proporsional terbuka menjadi pilihan dalam pemilu Indonesia, termasuk pemilu serentak 2024. 

Dengan sistem tersebut, setidaknya ada dua kekuatan politik yang bergantian menjadi pemenang pemilu yakni Partai Demokrat pada pemilu 2009 dan PDIP pada pemilu 2014 dan pemilu 2019. 
Pandangan penulis yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Hukum. 

Pemilu perlu dimaknai sebagai sebuah proses pengambilan keputusan secara formal dimana rakyat memilih orang atau beberapa orang untuk menduduki sebuah jabatan publik atau pemerintahan. Pemilu diadakan untuk memilih secara langsung kandidat atau calon Presiden dan Wakil Presiden serta calon legislatif (DPR, DPD dan DPRD), untuk menentukan pemenang dilakukan penghitungan berdasarkan perolehan suara terbanyak. 


Kemenangan kandidat dalam sistem proporsional tertutup tidak ditentukan berdasarkan perolehan suara kandidat, tetapi dihitung berdasarkan perolehan suara partai politik, kandidat terpilih akan ditentukan oleh partai, dalam sistem ini, rakyat memilih partai bukan kandidat. Sementara dalam sistem pro-porsional terbuka, kemenangan kandidat ditentukan oleh dukungan pemilih yang diperoleh dalam pemilu yang berlangsung secara umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, kandidat yang memperoleh suara terbanyak yang akan terpilih mewakili partainya duduk di parlemen.

Oleh sebab itu, merancang sistem pemilu yang mencerminkan keadilan suatu keniscayaan dalam alam demokrasi, apabila sistem pemilu salah pilih, atau hanya sekedar memenuhi hasrat dan keinginan sekelompok orang atau memenuhi hasrat elite atau ingin mempertahankan status quo, maka produk pemilu merupakan keinginan status quo, akan sulit sistem tersebut dapat bertahan sebagai suatu sistem yang dihargai dan dihormati oleh masyarakat. 

Diskusi dan perdebatan mengenai sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka dalam alam kehidupan politik Indonesia merupakan proses yang bersifat dinamis dan politis, tidak dihasilkan dari suatu paradigma mengenai arah masa depan bangsa atau kebutuhan suatu bangsa, apakah yang menjadi kebutuhan bangsa dalam konteks seleksi kepemimpinan politik ditentukan berdasarkan mekanisme pemilihan atau perwakilan politik seperti apa yang diharapkan oleh suatu negara, perwakilan politik yang bersifat proporsionalkah atau distrikkah serta beberapa pertanyaan lainnya. 
Dalam merumuskan sistem pemilu memang harus ada negosiasi dan kompromi antara keinginan dan tujuan yang saling bersaing dalam masyarakat, misalnya sebagian kalangan menghendaki adanya suatu sistem yang membuka kesempatan yang luas kepada pemilih dalam menentukan pilihannya secara bebas di antara para kandidat dan partai-partai, kira-kira pilihan mana yang membawa dampak paling rendah bagi timbulnya perpecahan dan persaingan di dalam partai maupun potensi terjadi perpecahan dan polarisasi masyarakat. Rancangan dan rencana besar ini yang di kemas berupa sistem pemilu yang sangat terpenting adalah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat untuk mendorong keterwakilan politik ideal, setidaknya bagi terciptanya pemerintahan yang stabil, efisien dan dapat melakukan transformasi kehidupan publik. Sistem pemilu yang ideal membuka ruang dan kesempatan kepada semua kelompok dalam masyarakat untuk mengambil bagian, termasuk kekuatan oposisi dan partai politik baru dapat terlibat langsung dalam pemilu. 


Kegagalan dalam merespons dinamika kehidupan masyarakat akan membawa konsekuensi bagi kelanjutan kehidupan bangsa. Indonesia menggunakan sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup. 


Sistem pemilu itu sendiri memberikan landasan atau panduan hukum bagi penyelenggaraan pemilu yang demokratis, dengan parameter keterwakilan penduduk dan keterwakilan daerah, akuntabilitas wakil rakyat kepada pemilih, akses rakyat memengaruhi wakilnya, kompetitif dan praktis (efektif dan efisien), serta pelaksanaan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilihan terhadap sistem pemilu menjadi otoritas pembuat UU (Pemerintah dan DPR), sistem pemilu mencerminkan kondisi obyektif masyarakat Indonesia Studi ini akan menjelaskan secara detail mengenai dinamika penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan mengacu pada sistem proporsional tertutup dan terbuka, tulisan ini melakukan analisis dengan menggunakan perspektif sosiologis-historis, bahwa pemilu Indonesia telah berlangsung sejak awal kemerdekaan yang dimulai dengan pemilu lokal setahun setelah Indonesia merdeka dan diteruskan pemilu lokal pada beberapa daerah di Indonesia dengan menggunakan sistem proporsional tertutup dan terbuka. Pada pemilu nasional pertama tahun 1955, Indonesia menerapkan sistem proporsional tertutup, sistem ini berlanjut diterapkan selama pemilu Orde Baru dan pemilu awal pasca Orde Baru. Perspektif tentang penyelenggaraan pemilu di Indonesia hingga proses dan dinamika penyelenggaraan pemilu serentak 2024.

 Pandangan ini akan menjelaskan bagaimana keuntungan dan kelemahan masing-masing sistem pemilu yang digunakan. Tulisan ini tidak bermaksud membahas secara luas mengenai sistem pemilu, tetapi fokus pada sistem proporsional tertutup dan terbuka, dimensi lain di luar itu tidak akan dibahas dalam pandangan singkat ini.


Sejarah Sistem Pemilu Indonesia
Sejarah Sistem Pemilu Indonesia Perbincangan mengenai pentingnya keterwakilan politik atau perlunya lembaga perwakilan (parlemen) sudah dibicarakan dalam sidang-sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada sidang pertama tanggal 29 Mei 1945, salah seorang anggota BPUPKI Soesanto Tirtoprodjo menyampaikan bahwa “saudara ketua, saudarasaudara sekalian! Apakah yang harus menjadi soko guru dari negara Indonesia Merdeka, dengan singkat: Pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Ini berarti harus ada Badan Perwakilan Rakyat atau Parlemen.” (Kusuma, 2009). Pada sidang BPUPKI tanggal 30 Mei 1945, anggota BPUPKI lainnya A. Rachim Pratalykrama menyampaikan bahwa “Negara Indonesia: Kepala dipilih rakyat, punya Perdana Menteri dan Kabinet. Badan Perwakilan Rakyat: Majelis Luhur dan Majelis Rendah, yang anggotanya dipilih oleh rakyat.

Setelah Indonesia merdeka, pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan siding yang menghasilkan sejumlah keputusan penting, diantaranya pemantapan pembahasan mengenai Komite Nasional Pusat (KNP), komite ini untuk sementara menjadi satu badan pengganti lembaga perwakilan rakyat, Hatta menyebutkan bahwa “Komite Nasional tidak akan dibentuk oleh pemerintah melainkan oleh rakyat dan cocok sifatnya dengan sifat Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat. Jadi kita menghendaki Panitia ini sebagai suatu badan yang dipilih oleh rakyat. memang, pemilihan oleh rakyat sekarang tentu tidak bisa batal wudhuk. Badan persiapan dipilih oleh Pemerintah dan diganti dengan Komite Nasional yang dipilih oleh rakyat, sebagian dipilih benar benar oleh rakyat dan sebagian ditunjuk oleh Presiden dengan mengindahkan susunan rakyat. 

KNP memiliki posisi dan peran sebagaimana suatu lembaga perwakilan politik, keanggotaannya ditentukan oleh rakyat melalui proses pemilihan. Pemilu sudah direncanakan oleh pendiri bangsa sejak BPUPKI dan PPKI sebagai sarana kedaulatan rakyat. Pembentukan KNP merupakan kebutuhan untuk mewadahi aspirasi dan kepentingan rakyat, semangat awalnya bahwa anggota KNP diproyeksi akan dipilih melalui pemilihan umum, yang menentukan anggota KNP adalah rakyat. 

Untuk menunjukkan keseriusannya menyelenggarakan pemilu, pemerintah pada 5 Oktober 1945 mengumumkan bahwa Pemerintah Republik
Wacana Presiden Memantik Harapan Baru
Wacana dan pandangan Presiden Prabowo Subianto menggulirkan ide agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD/DPRA/DPRK) tidak lagi secara langsung dipilih rakyat. 

Pilkada melalui wakil rakyat bukanlah suatu kebijakan baru. Sistem pemilihan ini diterapkan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.


Menanggapi hal tersebut, Marzuki Wakil Dekan Fakutas UJG Sigli menyebut ada beberapa poin yang perlu disoroti baik dari statement Prabowo maupun dari pandangan partai atau koalisi pendukung yang saat ini menduduki parlemen tersebut.

Yang pertama, tentu perlu melihat bagaimana evaluasi dari pelaksanaan Pilkada serentak baik dari segi biaya yang mahal maupun dari segi efektifitas sehingga ada kesimpulan bahwa Pemilu atau Pilkada ini memberikan efek yang cukup boros, dan transaksional. Tidak terkecuali di Aceh.

“Khawatirnya ide ini berangkat dari syahwat politik tidak sebagai kebutuhan akan Hukum yang kemudian menjadi trend, seolah arah reformasi selama ini telah menimbulkan kekhawatiran baru,”ujarnya.

Kedua, dalam konteks ini , kita melihat apa yang dicontohkan oleh Pak Prabowo adalah negara-negara seperti Malaysia, India dan Singapura yang itu merupakan negara-negara parlementer dimana kekuasaan parlemen jauh lebih tinggi untuk memilih perdana menteri seperti itu.

“ya tentu ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia dalam konteks demokrasi lokal maupun dalam konteks Pilpres seperti itu,”imbuhnya.

Hemat saya, kita bisa saja kembali kepada sistem lama dengan beberapa catatan tentunya dan ini bisa masuk dalam taraf harmonisasi dan singkronisasi UU Pemilu kedepan :
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD/DPRA/DPRK), bisa saja dilaksanakan oleh lembaga perwakilan tersebut, karena ini bukan sebuah Extra Ordinary baru, dulupun Indonesia pernah menerapkan sistem ini. Namun perlu dilihat kembali asas kemanfaatannya yang lebih luas untuk Bangsa dan Negara ini.

Sehingga terhindari dari calon boneka atau boneka baru produk reformasi.

Terkait evaluasi dari pelaksanaan Pilkada serentak baik dari segi biaya yang mahal maupun dari segi efektifitas sehingga ada kesimpulan bahwa Pemilu atau Pilkada ini memberikan efek yang cukup boros, dan transaksional. 

Pandangan ini menurut saya tidak keliru, faktanya memang seperti itu,
Kalau nanti pemerintah sepakat untuk melaksanakan sistem ini, semua biaya pemilu itu harus berdampak keadilan bagi masyarakat, dimana dana yang begitu besar yang di keluarkan oleh Negara untuk biaya pemilu, dengan formulasi baru sistem pemilu, anggaran tersebut bisa di nikmati oleh masyarakat yang masuk dalam DPT, siap coblos Negara memberikan konpensasi. 

Jadi Hak Rakyat di nilai oleh Negara bukan di nilai oleh Parpol atau Calon.
Khusus untuk Provinsi Aceh, Lex Spesialis UUPA dan turunannya yaitu Qanun tentang Pemilu, juga harus diselaraskan. Jujur kita menyampaikan bahwa, setiap ajang pemilu apakah pemilu Legislatif maupun pemilu Eksekutif, kita seolah-olah dan seakan-akan melaksanakan Dis natalis konfliks sosial baru yang komplik dalam masyarakat.

Dengan melihat 4 fenomena diatas, Maka perlu analisis yang mendalam untuk memahami hal tersebut,”pungkasnya.
Arah Baru Reformasi Sistem Pemilu
Reformasi yang berjalan selama ini seakan kehilangan warna Demokrasi yang di cita-citakan oleh seluruh rakyat, misalnya dalam hal pemilihan kepala daerah dan seterusnya, harus atau tak harus melalui pilkada langsung. Ia merujuk undang-undang yang hanya mengatur diksi secara demokratis dalam pemilihan kepala daerah.

"Pemilihan kepala daerah di undang-undang dasar maupun di undang-undang pemilu itu kan diksinya adalah dipilih secara demokratis. Dipilih secara demokratis itu kan tidak berarti harus semuanya pilkada langsung," kata Marzuki

Harus adanya upaya diskusi terkait evaluasi pemilu, Wakil Dekan Fakultas Hukum, Marzuki menilai wacana yang disampaikan Prabowo sebagai upaya memantik diskusi untuk mengevaluasi penyelenggaraan pilkada.

"Diskusi atau diskursus seputar idealitas Pilkada, usulan (dipilih) di DPRD/DPRA/DPRK dan seterusnya sebagaimana juga diskursus seputar refleksi atas partisipasi yang memang turun meskipun masih dalam 70 persen. Ini kan dinamika pasca Pilkada. inilah pentingnya evaluasi, pentingnya diskursus yang nanti bagaimanapun yang kita pilih langkah apapun itu harus dimulai dari aturan atau undang-undang yang menurut rencana menjadi prolegnas," imbuhnya.


Penulis : Dok. Foto Penulis : Marzuki Ahmad, SHI, MH
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur


×
Berita Terbaru Update