Gemarnews.com,Opini - Kesultanan Aceh didirikan oleh Syech Abdullah Kan'an bersama Meurah Johan Syah pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 M.
Syech Abdullah Kan'an seorang Ulama asal Palestina yang mendalami ilmu di Dayah (Zawiyah) Cot Kala Kesultanan Peureulak, suatu universitas Islam pertama di Asia yang didirikan pada tahun 899 M.
Meurah Johan Syah merupakan murid senior dari Syech Abdullah Kan'an di Cot Kala dan juga putra dari pendiri kesultanan Linge (Aceh Tengah), Tgk Syiek Kawe Teupat yang juga alumni perguruan tinggi Dayah Cot Kala Kesultanan Peureulak.
Setelah Syech Abdullah Kan'an dipercayakan Sultan Peureulak sebagai Teungku Syiek (Rektor) di Zawiyah Cot Kala, beliau kemudian diperintahkan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Syah Johan pada tahun 576 H/1180 M untuk berdakwah ke ujung pulang Sumatera (Aceh Besar) sekaligus mengusir tentara Tiongkok (China) atas permintaan Raja Indra Pura (Lamuri) yang masih beragama Hindu.
Syech Abdullah Kan'an (Teungku Syiek Lam Peuneu'eun) memimpin 300 tentara terlatih (suke 300) yang merupakan mahasantri Dayah Cot Kala di bawah komando Meurah Johan Syah.
Setiba di wilayah Indra Pura, selain menyebarkan dakwah, para tentara tersebut juga melatih ilmu perang kepada warga setempat sehingga pasukan Tiongkok (China) dengan mudah dapat diusir dari kerajaan Indra Pura, Indra Patra, Indra Purba, Indra Puri dan beberapa kerajaan bercorak Hindu yang kemudian diislamkan.
Meurah Johan Syah dinikahkan dengan putri Indra Pura dan kemudian menjadi Sultan pertama Kesultanan Aceh. Syech Abdullah Kan'an menempati posisi sebagai penasehat Kesultanan dan Kadhi Malikul Adil (Ketua Lembaga Yudikatif setingkat Mahkanah Agung).
Syech Abdullah Kan'an juga seorang Ulama ahli pertanian sehingga kesultanan Aceh ketika itu makmur dengan hasil pertanian melimpah. Para pedagang dari berbagai negara di dunia yang melintasi selat Malaka di ujung pulau Sumatera sangat mengagumi rempah rempah Aceh. Dari dulu sampai saat ini selat Malaka merupakan jalur sempit (choke point) terpadat dan terbaik di dunia yang menghubungkan samudra Hindia, samudra Pasifik dan laut China Selatan. Sekitar 40% pelayaran perdagangan dunia melintasi selat ini.
Di abad ke 15 masehi kesultanan Aceh didapati sudah terpecah menjadi dua. Yang pertama kesultanan Aceh dengan ibukota Lamuri kemudian dipindahkan ke Meukuta Alam (Kuta Alam), dan kedua kesultanan Aceh Darul Kamal dengan ibu kota Darul Kamal. Kedua dinasti ini hanya terpisah oleh Krueng Aceh (Sungai Aceh)
Di akhir abad ke 15, putra mahkota Kesultanan Aceh Meukuta Alam, Ali Mughayat Syah dijodohkan dengan putri Kesultanan Aceh Darul Kamal sebagai pertanda menyatu kembali kesultanan Aceh. Ali Mughayatsyah naik tahta menjadi Sultan pada tahun 1496. Inilah awal mula berdiri Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan gabungan kembali Kesultanan Aceh Dinasti Meukuta Alam dan Kesultanan Aceh Dinasti Darul Kamal.
Kesultanan Aceh Darussalam semakin luas setelah melakukan perluasan wilayah sampai ke semenanjung Malaka, Pattani, menyatukan hampir seluruh kerajaan yang ada di pulau Sumatera seperti Pedir, Linge, Peureulak, Samudra Pasee, Meureuhom Daya, Tamiang, Aru, Lidie, Nakur.
Di awal abad ke 17, ketika dipimpin Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menggapai puncak kejayaan dan menjadi kesultanan nomor 5 terkuat di dunia.
Karena hasil rempah rempah, kekayaan alam yang melimpah seperti emas, kesultanan Aceh menjadi makmur dan sejahtera sehingga kemudian menjadi incaran beberapa negara penjajah. Sehingga Aceh pernah diserang oleh Portugis, Tiongkok, Inggris, Belanda dan Jepang.
*Ultimatum Perang Belanda*
Belanda merupakan salah satu kerajaan yang sebelumnya dijajah oleh Spanyol. Belanda memproklamirkan kemerdekaan dari Spanyol pada 26 Juli 1581. Kesultanan Aceh yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda dengan mengirim delegasi khusus yang dipimpin seorang Ulama Tengku Abdul Hamid dan Laksamana Sri Muhammad membawa surat dari Sultan Alaiddin Riyad Syah untuk mendukung kemerdekaan Belanda.
Surat tersebut diserahkan kepada pangeran Belanda, Maurits van Oranje pada 1 September 1602 disaat tidak ada satupun negara Eropa yang berani mengakui kemerdekaan Belanda karena takut kepada Spanyol. Dalam pelayaran menuju Belanda, kapal perang tim delegasi Aceh sempat dihadang kapal perang Portugis sehingga terjadi pertempuran laut yang dimenangkan kesultanan Aceh. Pimpinan Delegasi Aceh, Teungku Abdul Hamid juga meninggal di Belanda.
Namun kemudian bagaikan air susu dibalas dengan air tuba, pada 26 Maret 1873, Belanda mengeluarkan ultimatum perang terhadap Aceh karena Sultan Aceh saat itu, Sultan Mahmud Syah tidak mau mengakui kedaulatan Belanda di Aceh.
Perang besar besaran pun terjadi dan pada 14 April 1873 (20 hari sejak perang dimulai), Jenderal Kohler tewas di halaman mesjid Raya Baiturrahman Kuta Raja Aceh. Para Sejarawan menulis bahwa Belanda sangat kewalahan berperang melawan Kesultanan Aceh sejak maklumat perang diumumkan pada 26 Maret 1873.
Hampir dua dekade lamanya Belanda terus menggempur Aceh dengan kekuatan militer terbaiknya tapi tidak membuahkan hasil maksimal. Justru mengakibatkan kerugian materi, energi dan korban jiwa yang begitu besar.
Beberapa perwira dan jenderal pimpinan perangnya tersungkur tewas oleh serangan mujahidin Aceh, seperti: Jenderal Kohler, Jenderal J.L Pel, Jenderal Demmenie, Jenderal De Moulin. Inilah fase paling kelam dalam sejarah perang yang dihadapi Belanda.
Snouck Hugronje setelah melakukan penelitiannya di Aceh menulis laporan kepada Gubernur Militer tentang siasat untuk menaklukan Aceh yang diberi judul Atjeh Verslag.
Snouck menulis laporan intelijen dengan satu poin penting bahwa: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang dipikirkan Belanda selama ini, namun oleh ulama-ulama Islam.
Belanda tidak tau bahwa kepemimpinan Aceh setelah meninggal Sultan Mahmud Syah pada 25 Januari 1874 karena penyakit kolera telah diambil alih oleh majelis kesultanan (Tuha Peut) yang terdiri Tuanku Raja Keumala sebagai Ketua, Teungku Syiek Tanoh Abee, Panglima Polem dan Tuanku Hasyem sehingga menobatkan Teungku Syiek di Tiro sebagai Wali Negara Kesultanan Aceh (Mudabbir, Waliul Muluk) pada 28 Januari 1874 di Keumala Dalam sebagai ibu kota baru karena Kuta Raja sudah dikuasai Belanda. Saat itu putra mahkota Muhammad Daud Syah masih berusia 11 tahun.
Perang terus berkecamuk sehingga beberapa putra Teungku Syiek di Tiro yang dinobatkan sebagai Wali Negara syahid silih berganti. Terakhir Teungku Syiek Maad Muda sebagai wali ke 7 syahid di alue Bhout pegunungan Tangse pada 3 Desember 1911 dan di kopiah tengkulok (kopiah Aceh) ditemukan stempel cap sikureung (stempel kesultanan Aceh) dan di saku bajunya ditemukan surakata (surat penunjukan) sebagai Wali Negara Aceh yang kemudian dibawa Belanda dan disimpan di museum Bronbeek. Pada tahun 1968 surat tersebut diambil kembali oleh Dr Tgk Hasan di Tiro yang diserahkan oleh Ratu Beatrik.
Penerus Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda pada 10 Januari 1903 di Sigli sebagai rakyat biasa, bukan sebagai Sultan karena kepemimpinan Aceh sebelumnya telah diambil alih oleh Majelis Kesultanan Aceh dan diserahkan kepada ulama (Teungku Syiek di Tiro). Dan perang terus berlanjut sampai Belanda menarik diri dari Aceh.
*Belanda Keluar Dari Aceh*
Belanda keluar dari Aceh pada awal Maret 1942 dan tidak pernah lagi kembali ke Aceh. Hal ini membuktikan bahwa Belanda begitu kewalahan berperang dengan Kesultanan Aceh selama 69 tahun sejak 26 Maret 1873 - Maret 1942.
Berbeda halnya dengan wilayah Nusantara lainnya. Meskipun RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 tetapi ternyata Belanda masih melakukan agresi 1 pada tahun 1947 dan angresi 2 pada tahun 1948 sehingga semua wilayah RI kembali dikuasai Belanda.
Dalam perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, Kesultanan Aceh tidak masuk dalam wilayah RIS. Bahkan salah satu poin perjanjian Renville yaitu akan digelar plembisit atau Referendum (pemungutan suara) untuk menentukan status wilayah RIS.
Berdasarkan Konfrensi Meja Bundar (KMB), status Aceh sebagai negara berdaulat sejak 22 April 1205 dijadikan bagian RI pada 1949 yang merupakan negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah Soekarno mendapat izin dari Daud Beureueh untuk menjebloskan Aceh dalam RI. Padahal Daud Beureueh bukan Sultan Aceh (pemegang kedaulatan Aceh)
Dalam kunjungannya ke Aceh pada Juni 1948 sambil terisak tangis, Seokarno meminta Aceh bergabung dengan Republik Indonesia di hadapan Daud Beureueh sebagai pimpinan Militer Aceh ketika itu dengan mengubar janji meskipun tidak lama kemudian pada 1950 Soekarno dengan mudah mengkhianati janjinya sehingga lahir pemberontakan DI/TII pada tahun 1953 dan AM pada 1976. Dan akibatnya ratusan ribu rakyat Aceh menjadi korban konflik berkepanjangan sampai tahun 2005.
Dari sejak Presiden Soekarno sampai Jokowi, Aceh selalu mendapat janji manis dari pemerintah padahal Aceh yang membeli 2 pesawat untuk diplomasi, membantu kemerdekaan Indonesia dan menyumbang hasil alam terbesar selama puluhan tahun. Bagaikan air susu terbalas air tuba kembali dirasakan Aceh sekian waktu lamanya.
Tanpa melibatkan Aceh yang belum pernah dikuasai Belanda, RI akan gagal dalam perundingan Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 kerena semua wilayah kembali dikuasai Belanda pada 1948 setelah agresi ke 2.
Sesuai hukum internasional, Belanda tidak bisa menyerahkan Aceh kepada RI karena Belanda tidak pernah memiliki hak kedaulatan terhadap Aceh. Sebuah negara tidak boleh menduduki sebuah wilayah yang ada di dalam kedaulatan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan.
Seandainya izin itu didapatkan, itu hanya untuk menempati bukan untuk memiliki, jika tujuannya untuk memiliki, maka secara tidak langsung itu merupakan sebuah penjajahan tanpa peperangan.
Alasan hukum internasional inilah (dekolonisasi) sehingga Dr Tgk Hasan di Tiro MS, MA, LL.D, P.hd melakukan deklarasi kembali negara sambungan pada 4 Desember 1976 dan ini terus diperjuangkan beberapa faksi diaspora Aceh di belahan dunia. Inilah sekelumit sejarah yang mesti diketahui oleh setiap generasi Aceh dan masyarakat Indonesia.
Penulis : Tgk Mukhtar Syafari S.Sos, MA
Koordinator Forum Masyarakat Aceh Darussalam (FORMAD)
Alumni Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Pemerhati Sejarah, Sosial Politik Aceh.