Gemarnews.com, Opini - Ilustrasi dari seorang anak berusia tujuh tahun berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Ia ingin belajar, tetapi sulit berkonsentrasi karena tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup.
Temannya, seorang anak berkebutuhan khusus, duduk di kelas tanpa guru pendamping, menghadapi tantangan sendiri dalam memahami pelajaran. Di luar sana, ribuan anak lainnya mengalami hal serupa. RPJMA 2024-2029 hadir dengan janji besar dalam perlindungan anak, tetapi apakah kebijakan ini benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Impementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh adalah dokumen konkrit perencanaan pembangunan untuk provinsi Aceh yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun. RPJM Aceh memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, dan program pembangunan di bawah Kepemimpinan Muallem-Dek Fadh.
Menimbang Komitmen Nasional dalam Integrasi Kebijakan Lokal
Secara Nasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang menegaskan bahwa setiap kebijakan pembangunan harus berorientasi pada kepentingan terbaik anak. Berarti baik RPJMN dan RPJMA juga harus memuat beberapa program perlindungan anak, namun tantangan implementasi tetap ada. Beberapa kebijakan yang diperkenalkan, seperti pemberian makanan gratis bagi anak sekolah dan penguatan layanan kesehatan ibu-anak, merupakan langkah positif. Meskipun demikian, kebijakan ini masih bersifat umum dan memerlukan langkah-langkah spesifik agar dampaknya lebih luas dan nyata.
"Ini agar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang akan menjadi program kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2025-2030 dapat terealisasi dengan baik dan tepat sasaran," ujar Marzuki.
Selain itu, kata Wakil Dekan Fakultas Hukum yang juga Tokoh pemerhati Anak, dalam kepemimpinannya ke depan, Mualem-Dek Fadh harus meletakkan pondasi hubungan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, yaitu menyelaraskan semua program pembangunan di Aceh dengan nasional.
Apalagi, lanjut dia, dalam beberapa kesempatan Presiden Prabowo Subianto sering menegaskan keinginannya supaya hubungan Jakarta dengan Aceh menjadi role model atau contoh hubungan baik antara pemerintah dan daerah di Indonesia.
Perencanaan Program yang Sudah Berjalan, Apa yang Perlu Direvisi?
Program pemberian makanan gratis bagi anak sekolah menjadi salah satu kebijakan unggulan dalam RPJMN 2024-2029. Langkah ini bertujuan meningkatkan gizi dan menekan angka stunting. Namun, program ini belum menjangkau seluruh anak yang membutuhkan. Banyak anak di daerah terpencil atau dari keluarga kurang mampu masih belum merasakan manfaat penuh dari kebijakan ini. Evaluasi dan ekspansi cakupan diperlukan agar tidak ada anak yang tertinggal.
Brasil dan Jepang telah membuktikan efektivitas kebijakan ini dalam meningkatkan partisipasi pendidikan dan kesejahteraan anak. Di Indonesia, program ini memiliki potensi besar, tetapi tantangan dalam distribusi, kualitas makanan, serta keberlanjutan pendanaan masih menjadi pertanyaan. Tanpa pengawasan yang baik, program ini bisa kehilangan dampaknya.
Selain itu, meskipun ada upaya peningkatan layanan kesehatan dan akses pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dan PKH, sistem perlindungan anak dari eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi belum menjadi prioritas utama. Negara-negara seperti Norwegia telah mengadopsi sistem intervensi cepat untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak, yang dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam memperkuat mekanisme perlindungan yang lebih responsif.
Tantangan Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak apa perlu dilanjutkan.
Secara nasional Saat ini, sekitar 7 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih menghadapi keterbatasan dalam akses pendidikan inklusif. Aceh bisa belajar ke daerah lain diluar Aceh yang telah berhasil menerapkan sistem pendidikan inklusif dengan pendekatan yang lebih komprehensif. RPJMA 2025-2030 kita berharap Pemerintah Aceh bisa memasukkan beberapa langkah untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi kebijakan ini masih membutuhkan strategi implementasi yang lebih rinci dan dukungan anggaran yang lebih besar.
Selain itu, angka kekerasan terhadap anak masih menjadi masalah besar di Aceh. Setiap satu jam, hampir dua anak secara nasional menjadi korban kekerasan. Sepanjang 2023, lebih dari 15.000 kasus kekerasan terhadap anak tercatat, tetapi berapa banyak lagi yang tak berani melaporkan? Tanpa sistem pelaporan yang kuat dan layanan rehabilitasi yang memadai, ribuan anak terus hidup dalam ketakutan tanpa jaminan perlindungan.
Kita berharap Aceh dengan kekhususan yang dimiliki dapat menerapkan indikator keberhasilan kebijakan perlindungan anak, termasuk jumlah anak yang mendapatkan layanan sosial serta efektivitas rehabilitasi. Aceh dapat belajar dari model ini untuk memperbaiki sistem perlindungan anak yang lebih terukur dan efektif.
Hal ini turut diakui oleh Ketua Perlindungan Anak (LPAI) Aceh yang juga Wakil Dekan Fakultas Hukum. Marzuki Ahmad SHI MH. Menurut dia. Pasangan yang akrab disapa Muallem-Dek Fadh ini dalam penjabaran visi dan misinya ini sudah seharusnya melihat gejala dini dari problem sosial ini secara implisit. Sehingga dalam masa pemerintahannya 5 tahun kedepan Bapedda bisa mereaktualisasi dan menjadikan Aceh sebagai Provinsi Layak Anak.
Marzuki Ahmad menyampaikan masih ada catatan penting bagi Aceh untuk persoalan pemenuhan hak-hak anak masuk dalam visioner Gubernur terpilih ini.
Perlunya kolaborasi dan Kesiapan dalam Menjawab Tantangan
Kita melihat perjabaran RPJMA 2025-2030 masih menghadapi tantangan besar dalam hal koordinasi dan kolaborasi lintas sektor. Hingga saat ini, belum ada mekanisme konkret yang memastikan kerja sama efektif antara DPPA, Dinsos, Dinas Pendidikan, dan lembaga penegak hukum dalam menangani isu perlindungan anak. Jawa Tengah DKI Jakarta. Lampung telah menerapkan model koordinasi lintas sektor yang efektif, dan Aceh dapat belajar dari sistem tersebut untuk menciptakan kebijakan yang lebih terintegrasi.
Di sisi lain, kesiapan perlindungan anak dalam situasi darurat masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Provinsi diluar Aceh tersebut telah mengembangkan sistem tanggap darurat yang memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak dalam situasi krisis, seperti bencana alam dan pandemi. RPJMA 2025-2030 perlu memperjelas langkah-langkah mitigasi bencana agar anak-anak tetap mendapatkan perlindungan sosial dan pendidikan dalam kondisi darurat.
Langkah yang bisa dilakukan untuk Memastikan Kebijakan Ini Berjalan?
Perlindungan anak sebagai bagian dari pembangunan nasional dan lokal memerlukan komitmen lebih dari sekadar dokumen kebijakan. Indikator keberhasilan yang jelas harus dirumuskan agar kebijakan dapat dievaluasi secara konkret. Selain itu, anggaran khusus perlu dialokasikan untuk layanan rehabilitasi bagi anak korban kekerasan serta penguatan sistem pendidikan inklusif. Tanpa dukungan finansial yang cukup, berbagai kebijakan perlindungan anak hanya akan menjadi ujian tanpa evaluasi.
Pemerintah juga dapat mengadaptasi praktik terbaik dari daerah lain. Daerah lain telah menerapkan sistem pelaporan kekerasan anak yang responsif, sementara misalnya Provisi Jawa Barat telah membangun pendidikan inklusif yang memastikan setiap anak mendapatkan haknya dalam sistem pendidikan. Dengan menyesuaikan praktik ini ke dalam konteks keacehan, sistem perlindungan anak dapat diperkuat agar lebih efektif dan berkelanjutan.
Komitmen Mulia yang Perlu Diperkuat
RPJMA 2025-2030 harus menyertakan beberapa kebijakan yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan anak-anak, tetapi apakah langkah-langkah tersebut cukup konkret untuk menciptakan perubahan nyata? Untuk menciptakan generasi emas 2045 yang kuat dan sehat, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus diperkuat agar kebijakan perlindungan anak tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar terimplementasi di lapangan.
Saatnya kita mengambil peran pesan Marzuki Ahmad . Bicarakan isu ini dengan orang-orang di sekitar kita, tanyakan kepada pemimpin daerah tentang langkah nyata mereka dalam memastikan perlindungan anak berjalan efektif. Jangan hanya menunggu perubahan terjadi. jadilah bagian dari gerakan yang memastikan bahwa anak-anak Aceh mendapatkan hak dan perlindungan yang layak. RPJMA tidak boleh hanya menjadi dokumen kebijakan, tetapi harus menjadi langkah nyata yang mengubah kehidupan anak-anak kita.
Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat dapat berperan dalam mengawasi implementasi program semisal makanan gratis, memastikan distribusinya tepat sasaran dan mencapai anak-anak yang benar-benar membutuhkan. Kesadaran akan hak anak perlu ditingkatkan melalui diskusi komunitas dan berbagi informasi yang akurat agar semakin banyak orang peduli dengan isu perlindungan anak. Sekolah dan lingkungan sekitar juga harus lebih inklusif dan ramah bagi anak berkebutuhan khusus dengan akses pendidikan yang lebih baik serta fasilitas yang mendukung kebutuhan mereka.
Setiap langkah kecil bisa membawa perubahan besar. Dengan komitmen bersama, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.Perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan. Dengan sinergi yang lebih kuat, Aceh dapat memastikan bahwa setiap anak memiliki akses ke lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung pertumbuhan mereka.
Penulis : Marzuki Ahmad SHI. M.H
Ketua LPAI Aceh
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli